Orang Minang memang dikenal sebagai salah satu etnis tangguh dalam urusan merantau. Spesialis mereka adalah pedagang kelontong dan kuliner. Ada pameo yang menyebut, di mana ada manusia di situ pasti ada orang Minang mendirikan rumah makan, berdagang di kaki lima, dan menjalankan bisnis lainnya.
Di samping saudagar, sebenarnya Rang Minang di perantauan juga menekuni banyak profesi lainnya, terutama yang membutuhkan kemampuan intelektual dan retorika. Ada yang menjadi guru, ustad/dai, diplomat, politisi, dan wartawan. Dalam keseharian, mereka membaur dengan masyarakat setempat, baik penduduk asli maupun warga perantauan yang datang dari daerah lain.
Dari pecakapan penulis dengan warga Riau di beberapa kota/kabupaten, semisal Pekanbaru, Duri, Dumai, dan Rengat, banyak di antara mereka yang mengaku punya pertalian darah dengan kabupaten/kota di Ranah Minang. Mereka sudah membaur dengan penduduk asli dan warga lainnya, sehingga identitas Minang mereka tidak lagi terlalu kentara, kecuali ketika ada perhelatan khusus semisal pernikahan, syukuran, dan halal bil halal usai lebaran.
Pola pembauran masyarakat Minang di perantauan menganut filosofis: dima bumi dipijak, di situ langik dijunjuang(dimana bumi dipijak, di situ langit dijujung), menjadi rujukan tentang betapa Rang Minang perantauan lebur dengan bumi rantaunya, termasuk di Bumi Melayu bernama Riau yang dari ke hari terus memainkan peranan pentingnya di bidang perekonomian Indonesia bagian barat.
Kota Pekanbaru dan Dumai, sesungguhnya bisa menjadi rujukan penting, bila kita berbicara soal peran strategis yang dimainkan warga kota yang memiliki pertalian darah keturunan dengan Sumbar. Di kedua kota itu, ditemukan sejumlah warga asal Minang yang generasinya sudah mencapai tiga keturunan.
Kendati pun sudah demikian lebur dengan masyarakat Riau, namun cinta mereka terhadap Ranah Minang tentu tak bisa hapus begitu saja. Kalau menurut data Sunaryo ada dua hingga lima persen warga Sumbar setiap hari bolak-balik Sumbar-Riau untuk berdagang, maka penulis memprediksi, sekitar dua hingga lima persen pula warga Riau setiap akhir pekan berkunjung ke Sumbar, terutama Bukittinggi, Padang Panjang, Pariaman, Padang, dan Painan sebagai wisatawan.
Sekitar 80 persen dari wisatawan Riau ke Sumbar itu, diyakini memiliki pertalian darah dengan Ranah Minang, kendati pun ada di antara mereka yang sudah tak lagi memiliki sanak famili dan rumah gadang di negeri asalnya.
Wisata dan pendidikan
Riau memang memiliki peranan penting dan strategis bagi Rang Minang. Di tengah kuatnya magnet Riau menarik Rang Minang untuk merantau ke sini, magnet Minang juga tak kalah kuat menarik warga Riau untuk berkunjung ke Ranah Minang, terutama pada sektor pariwisata dan pendidikan. Dalam dua hal ini, warga Riau yang datang ke Ranah Minang untuk membelanjakan uang mereka.
Hingga pertengahan 1990-an, ada ribuan anak asal Riau yang bersekolah di Bukittinggi, Padang Panjang dan Padang, terutama pada pesantren-pesantren besar dan bersejarah, maka kini jumlahnya mulai berkurang. Kendati demikian, kita masih menemukan banyak anak-anak asal Riau yang menekuni pendidikan di Perguruan Diniyyah Puteri atau Pesantren Nurul Ikhlas Padang Panjang.
Magnet Sumbar bagi warga Riau kini sudah beralih ke sektor pariwisata. Hal itu pun diakui salah seorang pejabat di lingkup Pemprov Sumbar, Nasir Ahmad, saat bersilaturahim dengan warga kota Dumai yang berasal dari Sumbar beberapa pekan lalu. “Sumbar kini menjadikan pariwisata sebagai unggulan dengan titik pacu ada di Padang dan Painan. Setiap akhir pekan, ada seribuan warga Riau yang berwisata ke Sumbar,” katanya.