Cerita yang beredar di Yogyakarta tentang Sultan Hamengkubowo IX, pangeran Diponegoro, Imam Bonjol atau Raja Yudistira. Bahkan cerita tentang tokoh agama seperti Para Walisongo lebih menguat dibandingkan dengna sejarah kedatangan Islam di nusantara. Bahkan alam kosmopolitan tentang "Semar" menjadi ukuran kepahlawanan ditengah masyarakat "goro-goro".
Bahkan cerita tentang Raja dirindukan yang bijaksana seperti "satrio Piningit" atau "ratu adil" di tanah Jawa atau "Imam Mahdi" di Timur Tengah menjadi kerinduan terhadap kepahlawanan yang arif, bijaksana dan mengayumi. Melindungi segenap alam semesta dan kehidupan rakyatnya.
Dalam alam kosmopolitan, Raja yang dirindukan lebih menggema, menggelegar dan menjadi 'amunisi" tambahan untuk melihat kiprah kepemimpinan. Gelegar heroic kepahlawanan yang gagah dimedan tempur kemudian dirindukan dengan kepahlawanan, keteladanan Raja yang arif. Raja yang memayungi. Memayu Hayuning Bawana.
Berbagai ujaran seperti "Gemah Ripah, Loh Jinawi. Tata tentram, kerto Rajarjo" atau "Padi menjadi. Rumput Hijau, Kerbo gepuk. Air jernih. Ikan Jinak. Ke aek cemeti keno. Ke darat, durian gugur", adalah lambang dari alam terhadap kepemimpinan dari Raja yang Agung.
Raja yang bekerja tanpa mengharapkan puja-puja. Sebagaimana sering disampaikan dalam ujaran "Rame ing gawe. Sepi ing pamrih".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI