Publik kemudian “kaget” dengan kelompok Bom Bali I. Dengan latarbelakangi veteran Afganistan, jaringan teroris mereka sudah menjadi jaringan global yang disebut-disebut bagian dari Al Qaeda.
Dengan kemampuan itulah, maka misteri terhadap “peristiwa” kemudian membuka mata Indonesia. Kemampuan “merakit” bom adalah keahlian yang tidak bisa diremehkan walaupun mereka berasal dari pesantren kecil di Jawa.
Kemampuan itu tidak boleh diremehkan dengan melihat penampilan dari pelaku. Itu pelajaran yang disampaikan oleh Ali Gufron ketika “mempresentasikan” perakitan bom yang mempunyai daya ledak luarbiasa.” Begitu juga kesaksian Nasir Abbas, Anggota Jamaah Islamiyah yang terlibat serangkaian teror bom di Indonesia seperti bom di Kedutaan Australia dan di Hotel JW Marriot.
Ali Imron menceritakan pengalamannya saat terlibat pengeboman di Bali tahun 2002. "Yang saya lakukan dulu itu bukan jihad. Itu jihad yang lebih banyak mudaratnya”. Ali Imron dan Nasir Abbas kemudian membantu Indonesia untuk mengungkapkan scenario teroris.
Yang pasti, saya tidak mempertaruhkan masa depan anak-anak saya dengan kejadian seperti di Syria, Lebanon.
Jadi. Meremehkan kemampuan para teroris dengan kehidupan sehari-hari memberikan peluang terjadinya teroris. Dan itu yang diinginkan oleh teroris yang menganggap Indonesia sebagai surga tumbuhnya terorisme.
Dan tugas kita bersama untuk melawan teroris untuk menghancurkan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H