Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menantang Ahok

1 Maret 2016   18:43 Diperbarui: 1 Maret 2016   19:25 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jagat belantara politik kontemporer Pilkada Jakarta sedikit “adem” setelah Ridwan Kamil (Walikota Bandung) menyatakan tidak maju untuk pilkada Jakarta 2017. Ridwan Kamil sebagai salah satu orang yang cukup diperhitungkan kemudian memilih berkonsentrasi untuk di Bandung.

Dalam pernyataannya, peluang Ridwan Kamil cukup banyak pilihan. Entah memasuki Jakarta paska 2017, meneruskan jabatannya kedua di Walikota Bandung atau menunggu peluang untuk Gubernur Jabar.

Namun politik bukanlah matematika. Walaupun dengan matematika, suara pemilih bisa menentukan pemenang pilkada.

Sebagian pihak menyebutkan posisi Ahok sebagai incumbent sedang menanjak naik. Berbagai survey menempatkan Ahok dengan skor 45 %.

Namun dengan kalkulasi politik, sebagai incumbent, dengan modal suara 30%, Ahok hanya berhasil “meraup” suara 15%. Sebuah prestasi yang biasa-biasa dalam hitungan “persepsi pemilih pilkada”.  Dari titik inilah, maka kesempatan bagi “penantang” Ahok untuk mengukur elektibilitas sebelum mendaftar pilkada 2016.

Dengan keragaman, multi etnik, kerumetan persoalan, kematangan politik di Jakarta, capaian Ahok mencapai 45% harus ditangkap sebagai sebuah prestasi Ahok yang mampu mengamankan suara 30%. Publik Jakarta kemudian menangkap sebagai pekerjaan Ahok yang terus menjadi trending topic dalam pembicaraan. Sedangkan suara 15% adalah prestasi modal untuk memasuki pilkada 2017.

Sebagai Politisi, Ahok telah ditempa sebagai Bupati Belitung Timur, calon Gubernur babel, anggota DPR-RI dan Wakil Gubernur hingga Gubernur Jakarta. Namun dalam pilkada Jakarta, Ahok harus diuji untuk melihat “ketangguhannya”.

Ketangguhan Ahok dimulai dengan dukungan dari 700 ribu KTP dalam pekerjaan “gerilya” Teman Ahok. Ahok “menguji” kekuatan politiknya sekaligus mengukur “kinerja” yang ditangkap oleh public. Tanpa mengenyampingkan “tawaran” dari Partai, posisi Teman Ahok cukup strategis sehingga “kekuatan” Ahok mempunyai andil dan langkah Ahok memasuki Pilkada Jakarta 2017.

Berbeda dengan Pilkada Jakarta 2012, dimana Jokowi mempunyai “andil” terhadap kemenangan, Ahok harus “bertarung” sendirian. Issu rasial seperti Kristen dan China merupakan “sasaran” empuk sebagaimana issu ketika Ahok diangkat sebagai Gubernur Jakarta “menggantikan” Jokowi.

Hampir setahun lebih, jagat politik terus dimainkan dengan target untuk “menjungkalkan” Ahok. Namun dengan “proteksi” Jokowi, Ahok tetap “melenggang” sehingga berbagai issu belum mampu “menyingkirkan” Ahok.

Ketangguhan Ahok dimulai dengan dukungan dari 700 ribu KTP dalam pekerjaan “gerilya” Teman Ahok. Ahok “menguji” kekuatan politiknya sekaligus mengukur “kinerja” yang ditangkap oleh public. Tanpa mengenyampingkan “tawaran” dari Partai, posisi Teman Ahok cukup strategis sehingga “kekuatan” Ahok mempunyai andil dan langkah Ahok memasuki Pilkada Jakarta 2017.

Namun “memasuki” pilkada Jakarta 2017, “keterlibatan” Jokowi cukup ditunggu berbagai pihak. Apakah Jokowi “memainkan”  peran atau memberikan kesempatan kepada Ahok untuk bertarung sendirian.

Membaca perkembangan politik, dengan mundurnya Ridwan Kamil dan “Belum adanya” suara dari Tri Rismaharini (Risma), membuat Ahok “cukup” berkonsentrasi dengan nama-nama beredar. Dalam hitungan politik, Ridwan Kamil dan Risma sebagai “petarung” yang tangguh dan sudah teruji kemudian mundur, membuat Ahok tidak begitu pusing memasuki pilkada 2017.

Nama-nama yang sudah resmi menyatakan memasuki gelanggang Pilkada 2017 seperti Dessy Ratnasari, Eko Patrio, Sandiogo Uno dan Ahmad Dhani (musisi- Dewa) ataupun Yusril Ihza Mahendra belum mampu mendongkrak suara di Jakarta. Terlepas dari kapasitas masing-masing candidate, dengan beredar nama-namanya, membuat Jokowi belum menganggap harus “turun” untuk mengawal Pilkada Jakarta.

Selain Dessy Ratnasari dan Eko Patrio yang sudah teruji dalam pemilihan langsung, nama Yusril Ihza Mahendra cukup diperhitungkan. Dengan masuknya YIM didalam pilkada dan melihat “perjalanan politik” Ahok, kita membutuhkan “petarung” yang mampu mengimbangi Ahok yang sudah pasti didukung oleh Teman Ahok.

Namun mengingat waktu yang semakin mendekati waktu pendaftaraan, nama-nama yang beredar sudah harus mampu mendongkrak elektabilitas. Sehingga politik Jakarta mampu menyediakan candidate yang menarik untuk diikuti.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun