Sebelum menguraikan pasal-pasal yang sering “dicomot” sesuka hati, persoalan selanjutnya disebabkan karena lulusan ilmu hukum banyak “terjebak” dengan nilai-nilai keadilan. Entah memang tidak mengetahuai atau memang “sengaja” menutupi kenyataan, penggunaan pasal-pasal merupakan “proteksi” dari perdebatan yang “dianggap” berseberangan.
Lihatlah. Bagaimana putusan Praperadilan yang “masuk” wilayah teknis projudicia yang cuma diperiksa 1 orang dan waktu cuma satu minggu.
Namun bukan hanya putusan praperadilan yang menarik perhatian penulis. Dukungan dari ahli hukum terhadap putusan praperadilan yang memantik diskusi.
Dengan menggunakan asas kepastian hukum (rechtssicherheit), ahli hukum justru melupakan sisi lain dari keadilan. Yaitu Kemanfaatan Hukum (zweckmassigkeit). Padahal Gustav Radbruck memberikan “ingatan” tentang tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
MK sendiri merumuskan makna keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.
Sehingga tidak salah kemudian putusan praperadilan dimaknai “membela kepentingan atau kebaikan sebagian golongan tertentu. Bukan kepentingan bersama/Common good.
Konsistensi
Saya kemudian kesulitan memahami bagaimana alasan menggunakan satu asas namun disisi lain mengelimir asas yang disebutkan.
Dalam sebuah perdebatan di televisi, putusan praperadilan dianggap sebagai “penemuan hukum (rechtvinding). Dengan menggunakan “asas penemuan hukum”, maka tradisi kepastian hukum (rechtssicherheit) telah ditinggalkan. Namun ketika menguraikan panjang lebar tentang jabatan Komjen Budi Gunawan, ahli kemudian malah menyetujui dan kembali dengan pemahaman sempit kepastian hukum ( rechtssicherheit).
Saya kemudian tersentak. Mengapa mudah sekali melompat dan menari-nari dari satu asas ke asas lain. Itu membuat saya yakin, konsistensi menggunakan asas merupakan pondasi dihormatinya hukum.
Terlepas dari berbagai polemik dan isu hukum yang menghinggapi pembicaraan akhir-akhir ini, dibutuhkan keteladanan dari praktisi hukum untuk menjelaskan persoalan hukum dengan jernih. Keteladanan selain merupakan citra dari penegakkan hukum juga berdampak terhadap serapan informasi yang diterima masyarakat. Tanpa menyebutkan siapa saja yang diingat publik, ahli hukum yang sering tidak konsisten, saya termasuk orang yang suka memindahkan channel televisi, ketika seorang ahli berbicara di televisi. Entah memang sudah “gregetan' dengan pendapatnya yang sulit diterima akal (common sense), rasa tidak peduli dengna etika, sering menyerobot pembicaraan, mengulang-ulangi hal yang membosan. Termasuk dengan gaya yang bikin “eneg”.