Dalam diskursus yang lain dinyatakan saat terjadi pertentangan antara keadilan, maka harus diprioritaskan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice),, kemudian kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit) dan terakhir Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) . Nilai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), lebih tinggi dari Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) Atau keadilan prosedural (procedural justice) terlebih dalam mewujudkan keadilan universal, karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata.
Apabila kita merujuk kepada Gustav Radbruh, dimana Hukum harus mengandung tiga nilai identitas, maka pertimbangan MK yang "mengabaikan keadilan prosedural dan memperjuangkan keadilan subsantif" lebih menitikberatkan kepada keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
Sedangkan apabila merujuk kepada John Rawls yang mempertimbangkan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice) kemudian Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) dan kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).
Dengan demikian maka etika membuat putusan, hakim harus memperhatikan banyak aspek, terutama Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit), dan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
Tujuan mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Im sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum, sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban.
Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan.
Dan seluruh paparan yang telah disampaikan penulis, maka menurut pendapat penulis, bahwa konsepsi berfikir aliran positivisme haruslah menjadi sikap hakim didalam memutuskan perkara. Dalam berbagai wacana diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum dalam hukum Indonesia. Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari pengembangan ajaran legalisme. Ajaran legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan hukum adalah Undang-undang.
Konsepsi berfikir positivisme disatu sisi dengan konsepsi mempertanyakan "keadilan" disisi lain menjadi sikap yang ambigu terhadap "keadilan" ditinjau dan kepastian hukum.
Nilai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), lebih tinggi dari Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice), karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata, sehingga oleh karenanya memperlakukan Hukum secara Retroaktif yang bersifat terbatas, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) akan melonggarkan Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice) , sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban .