Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kesemwrawutan Hukum Indonesia

1 April 2011   19:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:12 9210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rechtspersoon biasa disebut badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan demikian dianut oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga Langemeyer. Mereka badan hukum adalah hanyalah fiksi hukum. Oleh karena itu pendapat ini disebut teori fiktif atau teori fiksi.

Pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus

Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dan sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya.

Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab mutlak" atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan "sampai batas waktu tertentu" adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ketidaktepatan dan kerancuan yang tidak tepat menempatkan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) ataupun perbuatan pidana sebagai pertanggungjawaban korporasi selain akan menyulitkan pembuktian juga mengakibatkan terhadap kesalahan yang dilakukan dan penjatuhan pemidanaan. Dari ranah ini, kemudian berbagai putusan pengadilan (vonis) tidak memberikan tafsiran yang jelas dan cenderung mengikuti surat tuntutan jaksa penuntut umum (requisitooir). Padahal menurut hukum, perbuatan pidana sebagai pribadi ((naturlijkee person) dan pertanggungjawaban korporasi merupakan dual hal yang terpisah dan tidak dapat dicambur baur. Kesalahan dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009.

Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia.

Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental.

Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku (dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana. Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan lingkungan hidup

KEADILAN DARI DIMENSI SISTEM HUKUM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun