Pelan tapi pasti. Kata-kata reformasi memakan korban. Memanipulasi kata-kata “reformasi” bergesekan dengan putaran zaman. Memaknai reformasi dalam rangka “membungkus” demi kepentingan politik terlindas oleh zaman.
Kata “reformasi' kemudian mempunyai makna. Reformasi adalah harapan rakyat Indonesia memandang Indonesia. Kata “reformasi” terus berproses dan mengalami pemaknaan semakin dalam.
Belum selesai melihat bagaimana akhir dari kata “reformasi”, kita kemudian disuguhkan berbagai kata-kata “boneka”, “amanah”, “tegas”, kebocoran, berhadapan dengan kata-kata blusukan, Merakyat, sederhana, “baik”, berhadapan dengan kata-kata blusukan, Merakyat, sederhana, orang “baik” dalam hiruk pikuk pilpres 2014.
Kata-kata ini berseliweran di panggung politik. Setiap kata kemudian dihitung oleh waktu. Apakah kata-kata merupakan sarat makna atau hanya “membungkus” demi kepentingan politik jangka pendek.
Kata “boneka” haruslah diartikan sebagai “anak dalang” atau sebuah “wayang” dari pertunjukkan dari sang dalang dibalik layar. Dengan penggunaan kata “boneka” kemudian diukur apakah mempunyai relevansi sebagai “psywar” terhadap serangan yang hendak dibangun. Kata “boneka” kemudian kehilangan makna ketika kata boneka” cuma bertujuan memalingkan muka kepada sang pengabar kata.
Sedangkan kata amanah” merupakan salah satu strategi “menghancurkan citra terhadap sang lawan. Namun akan kehilangan relevansi makna ketika kata “amanah” ternyata berbalik kembali kepada sang pengabar kata “amanah”. Kata amanah bisa menghujam sang pengabar kata “amanah” sehingga pengabar kata justru sebagai “tidak amanah”.
Kata-kata “tegas” digunakan untuk membangun image personal dari sang pengabar kata. Namun kata “tegas' justru akan berbahaya ketika kata tegas disandingkan dengan personal sasaran lawan.
Kata tegas kemudian berdampak kepada sang pengabar kata “tegas”, ketika satu persatu peristiwa dipertontonkan kepada rakyat. Kata tegas justru menguatkan personal sang lawan.
Begitu juga kata blusukan sebuah antitesa dari “laporan” meja. Blusukan kemudian menjadi warna politik kontemporer Indonesia.
Kata “blusukan” telah mengalami perjalanan panjang dari sang pengabar kata “blusukan”. Kata blusukan telah mengalami proses yang matang. Sehingga ketika sang pengabar kata “blusukan” disampaikan, makna kata “blusukan” tidak dapat ditandingi dengan padanan kata “pencitraan'. Blusukan berhasil melewati benturakan kata “pencitraan'. Blusukan memenangkan “pertarungan dengan makna “pencitraan.
Sehingga upaya menghadang kata “blusukan” dengan dibenturkan kata “pencitraan” tidak berhasil. Kata “blusukan” terus menggelinding dan kemudian menarik simpati termasuk kepada “pencetus” pencitraan itu sendiri.