Dengan kata-kata “pembangunan”, Soeharto “membungkus” ekonomi. Menutupi agenda politik. Menentukan arah hendak kemana bangsa Indonesia dibawa.
Dengan kata-kata “pembangunan”, maka Soeharto menasbihkan diri sebagai “pioner” dan kemudian membangun diri sebagai “proses” membangun bangsa.
Kata-kata ini kemudian menjadi magnis. Tanpa reserve. Tanpa boleh diintervensi, diinterpretasi diluar dari Soeharto.
Diluar itu, maka dianggap sebagai “pengganggu pembangunan”. Sebuah padanan dari mereka yang “dianggap” berseberangan gagasan dengan Soeharto.
Kata-kata pembangunan kemudian kehilangan makna ketika dihadapkan dengan kenyataan yang berbeda dengan disampaikan. Kata-kata pembangunan kemudian dibenturkan dengan tingkat inflasi, tidak menyebarkan gagasan ekonomi berdasarkan konstitusi.
Kata-kata pembangunan kemudian diperlihatkan tingkat korupsi di lapisan inti (inner cycle). Berada di ruang gelap. Berada di ruang sunyi yang memerlukan tafsiran dari seorang Soeharto.
Kata-kata pembangunan kemudian menjadi kata tanpa makna. Sepi dari gegap gempita dan kemudian tercecer di kampus ilmiah yang berdebu.
Soeharto kemudian “tertelan” dengan kata-kata pembangunan ketika rakyat sudah menyadari kata “pembangunan” kehilangan makna. Soeharto lambat menyadari dan kemudian terjungkal.
Memasuki awal-awal kejatuhan Soeharto, kata-kata “reformasi” menemukan ruang dan relung hati rakyat Indonesia. Kata-kata ini kemudian bergulir bak “air bah”. Terus menggelinding memasuki ruang-ruang politik, ekonomi dan berbagai sendi kehidupan.
Rakyat Indonesia kemudian “bersorak” menyambut kata-kata “reformasi”. Rakyat dimana-mana menyambut sukacita bak merindukan seorang pahlawan. Kata-kata ini kemudian ikrar “rakyat” memandang politik, kemandirian ekonomi, beradab dan aktualisasi sebagai manusia yang independent.
Kata-kata ini kemudian mewarnai perdebatan di berbagai media massa. Mengantarkan ke panggung politik dengan menghadirkan permainan baru. Menciptakan konsep ekonomi dan terus melahirkan gagasan yang terus tersebar.