Akhir-akhir ini kita disodorkan kata-kata yang bombastis, kata-kata yang nyelekit, kata-kata yang bertujuan counter, kata-kata yang menyejukkan. Semua berangkat dari “pemahaman” seseorang yang mengenal dan memahami kata-kata itu sendiri.
Saya memulai dengan tema yang sering disampaikan dalam hiruk pikuk pilpres. Kata-kata “boneka”, “amanah”, “tegas”, kebocoran, berhadapan dengan kata-kata blusukan, Merakyat, sederhana, “baik” dan sebagainya.
Sebagai identitas pembeda, penggunaan kata haruslah mampu mempengaruhi orang untuk menilai sang pengabar kata. Kata yang digunakan harus mampu menggerakkan orang untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Kata yang digunakan mampu membuat orang merenung dan berfikir.
Dengan kata, maka persoalan menjadi jelas. Problema bisa terurai. Identitas dapat diukur antara suatu dengan yang lain.
Pada awal kemerdekaan, kata-kata “proklamasi” begitu dahsyat menggelorakan rakyat Indonesia memandang kemerdekaan. Dengan kata “proklamasi”, Soekarno mampu menyisir rakyat Indonesia dan bergerak melawan kedatangan Belanda setelah dinyatakan “merdeka” oleh Soekarno – Hatta.
Dengan kata-kata proklamasi, para pemimpin bangsa Indonesia (founding father) meyakinkan sebagai negara berdaulat, negara yang mandiri, negara yang merdeka.
Mereka bisa membusungkan dada bertemu dengna pemimpin-pemimpin dunia dalam berbagai forum internasional. Dengan kata “proklamasi” mereka bisa membicarakan berbagai persoalan dunia.
Kata-kata “proklamasi” mempunyai daya magnet yang menggerakkan, membangun rakyat Indonesia setelah dijajah oleh Belanda. Proklamasi mempunyai makna “sebagai manusia merdeka” sebagai bangsa yang berdaulat.
Sehingga kata “proklamasi” bukanlah sekedar kata. Bukanlah sekedar slogan semata. Kata Proklamasi mempunyai makna yang sampai sekarang bisa menggambarkan suasana politik setelah kemerdekaan.
Setelah Soekarno tumbang, Soeharto mengeluarkan kata magnis. Pembangunan. Sebuah kata yang menghipnotis rakyat Indonesia dan kemudian berbaris di belakang Soeharto.
Soeharto kemudian menjadikan kata “pembangunan” sebagai term. Sebagai “navigasi” untuk menangkap gagasan Soeharto. Menangkap pesan dan arah dari politik Soeharto.