Berbeda dengan pansus Pajak, Partai pemerintah justru mendapatkan dukungan dari Partai Gerindra. Sehingga pansus Pajak berhasil ditolak.
Melihat dinamika yang telah terjadi, maka praktis Partai Demokrat hanya mendapatkan dukungan dari PKB, PAN dan PPP. Partai Demokrat tidak berhasil mengendalikan Partai Golkar dan PKS.
Begitu juga didalam partai oposisi, PDIP dan Partai Hanura pernah berseberangan dengan Partai Hanura dalam kasus Pajak.
Dengan demikian, maka “koalisi permanen” yang digagas beberapa waktu yang lalu, Partai Pemerintah hanya solid dengan PPP, PAN dan PKB. Sehingga tidak salah kemudian pernyataan Yusril Ihza Mahendra “kesolidan” koalisi permanen hanya berumur jagung.
Namun dalam “koalisi permanen” yang hendak diusung, catatan selanjutnya menarik untuk diikuti.Apakah koalisi permanen yang ditanda tangani dihadapan publik akan bertahan dengan melihat peristiwa yang telah terjadi ?
Apakah penandatangani komitmen akan berdampak secara politik. Apakah memang ada literatur politik yang menempatkan komitmen politik akan dipatuhi oleh anggota partai ?
Kepentingan partai yang bergabung didalam koalisi memang terlalu rentan untuk bertahan.
Tipologi sebagaimana sering disampaikan oleh berbagai kalangan, kepentingan politik disesuaikan dalam konteks kontemporer. Para pemimpin partai selain berkepentingan terhadap aspirasi politik juga akan berhitung dengan cermat.
Bergabungnya partai yang beraliran nasionalis seperti Partai Golkar dan Partai Gerindra bergabung dengan partai identitas islam (PPP, PKS. PAN sendiri dapat dikualifikasikan sebagai identitas islam walaupun bisa juga ditempatkan dalam partai nasionalis) menarik untuk menjadi bacaan politik kontemporer. Terlepas dari peristiwa yang telah terjadi, catatan ini terlalu sayang untuk kita lewati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H