Melihat kampanye pilpres 2014, saya meyakini akan berakhir setelah tanggal pencoblosan. Berbagai issu seperti antek asing, boneka, keturunan China dan berbagai issu negatif lainnya membuat Pilpres 2014 menjadi pilpres yang paling panas. Terlepas dari “head to head' candidate capres, issu yang bergentayangan terus menerus mengemuka.
Dengan asumsi itulah, kemudian saya berharap agar berakhir ketika pencoblosan. Rasa muak yang terus menerus melihat kampanye yang tidak sehat membuat pilpres dapat berakhir damai. Dan siapapun pemenangnya kita berharap dapat memiliki Presiden baru.
Pelan tapi pasti, rasa itu mulai hilang. Setelah sebelumnya menolak hasil penghitungan cepat (quick count) dan kemudian melakukan sujud syukur dengan hasil lembaga penghitungan cepat (quick count sendiri), kemudian menyebutkan menunggu penghitungan dari KPU dan menawarkan real count (sampai sekarang belum bisa dipertanggungjawabkan) dan entah bagaimana ceritanya mengadakan upacara syukuran. Belum usai ceritanya, dalam hitungan hari malah kemudian meminta KPU agar menghentikan tabulasi nasional dan mengancam KPU dapat diseret ke persoalan hukum.
Ditambah bumbu tudingan KPU dan berbagai agenda yang jauh dari makna pilpres itu sendiri.
Bahkan beberapa jam sebelum rapat pleno KPU, Prabowo menyatakan mengundurkan diri dan meminta saksi yang sedang berada di KPU untuk keluar (walk out).
Ternyata “gertakan” sambal yang dimainkan oleh Prabowo kurang “bergaung”. KPU tidak bergeming dan terus melakukan kegiatan dengan agenda penghitungan tabulasi nasional dan ditutup dengan rapat pleno penetapan Capres/Cawapres terpilih.
Berbagai manuver paska waktu pencoblosan dapat dipilah. Hak keberatan terhadap keputusan KPU yang merupakan hak konstitusional haruslah diberi ruang dan diapresiasi dan manuver politik.
Tentu saja kita memberikan kesempatan kubu Prabowo untuk mengajukan keberatan di MK. Terlepas dari sikap yang ambigu disatu sisi mengundurkan dari proses pilpres namun kemudian keberatan di MK, namun berbagai manuver diluar dari proses konstitusional membuktikan, sikap kenegarawan Prabowo mulai diragukan. Sikap “siap kalah” jauh dari pelaksanaan. Prabowo menggunakan berbagai cara untuk menarik dukungan dan mulai merusak suasana pilpres yang diklaim sebagai “Pilpres yang terbaik” berhasil menarik dukungan dari kelompok golput. Prabowo kemudian kehilangan jati diri sebagai nasionalis sejati.
Tidak salah kemudian “suasana itu” persis digambarkan oleh Deep Purple dalam “Soldier of Fortune” di Album : Stormbringer (1974).
Now I feel I’m growing older
And the songs that I have sung
Echo in the distance
Like the sound
Of a windmill goin’ ’round
I guess I’ll always be
A soldier of fortune
I can hear the sound
Of a windmill goin’ ’round
I guess I’ll always be
A soldier of fortune
Tak terasa kini usiaku semakin renta
Dan lagu yang kunyanyikan
Bergaung sampai di kejahuan
Seperti kincir angin yang berputar
Yang selalu kurasakan
Akulah tentara yang beruntung
Tafsiran lagu ini menggambarkan “Ketika seorang prajurit berangkat ke medan perang, di dalam pikirannya hanya ada satu pilihan, yakni menang atau kalah, hidup atau mati.
Dalam peperangan—ketika sudah berhadap-hadapan dengan musuh—maka pilihan bagi seorang prajurit hanyalah: “Kill or to be kills!” Sungguh berbahagia bagi seorang prajurit yang telah memenangkan suatu pertempuran dengan selamat.
Dan Prabowo sebagai “soldier of fortune” harus memenangkan peperangan (pilpres), sebelum ada kata “berhenti” yang membatalkan Capres-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H