Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Susi menampar Wajah kita

29 Oktober 2014   03:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:22 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di dunia hukum juga mengalami persoalan yang sama. Para calon sarjana hukum “cuma dididik” sebagai “tukang” membaca rumusan pasal-pasal. Dipersiapkan sebagai teknorat seperti menjadi hakim, jaksa, polisi atau penasehat hukum.

Apabila dipersiapkan masuk kedalam struktur negara, para calon sarjana hukum kemudian dididik menjadi legal drafter. Kering makna.

Gugatan ini sudah sering disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengajak keluar dari “pakem” kaku kurikulum kampus. Slogan “Hukum untuk manusia” merupakan refleksi terhadap “kakunya sarjana hukum memandang hukum.

Sehingga tidak salah kemudian sarjana hukum gagap menghadapi putaran zaman dan masih “bernostalgia” dengan jimat hukum sebagai panglima. Mereka ketinggalan dengan perkembangan dunia yang terus berputar dan bergeraknya masyarakat Indonesia yang semakin dinamis.

Kemudian sarjana hukum gagap menciptakan pekerjaan dan cukup merasa zona aman dengan menjadi teknokrat.

Tidak salah kemudian sarjana hukum yang mempunyai nilai yang baik lebih merasa “aman” mengisi hari-harinya dengan memasuki pekerjaan yang tersedia.

Mereka tidak mau “mengambil resiko” untuk memasuki dunia diluar zona aman.

Sehingga tidak salah kemudian menjadi aneh“ mahasiswa yang mengambil pilihan hidup keluar di zona aman. Turun ke kampung-kampung, membentangkan poster, berdialog dari kampung-kampung, membangun kesadaran rakyat, belajar dari kampung.

Padahal mereka yang “keluar dari out of the box”, sudah diingatkan Antonio Gramsi dalam bukunya “negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organic.

Yang dimaksud dengan intelektual tradional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun