Di dunia hukum juga mengalami persoalan yang sama. Para calon sarjana hukum “cuma dididik” sebagai “tukang” membaca rumusan pasal-pasal. Dipersiapkan sebagai teknorat seperti menjadi hakim, jaksa, polisi atau penasehat hukum.
Apabila dipersiapkan masuk kedalam struktur negara, para calon sarjana hukum kemudian dididik menjadi legal drafter. Kering makna.
Gugatan ini sudah sering disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengajak keluar dari “pakem” kaku kurikulum kampus. Slogan “Hukum untuk manusia” merupakan refleksi terhadap “kakunya sarjana hukum memandang hukum.
Sehingga tidak salah kemudian sarjana hukum gagap menghadapi putaran zaman dan masih “bernostalgia” dengan jimat hukum sebagai panglima. Mereka ketinggalan dengan perkembangan dunia yang terus berputar dan bergeraknya masyarakat Indonesia yang semakin dinamis.
Kemudian sarjana hukum gagap menciptakan pekerjaan dan cukup merasa zona aman dengan menjadi teknokrat.
Tidak salah kemudian sarjana hukum yang mempunyai nilai yang baik lebih merasa “aman” mengisi hari-harinya dengan memasuki pekerjaan yang tersedia.
Mereka tidak mau “mengambil resiko” untuk memasuki dunia diluar zona aman.
Sehingga tidak salah kemudian menjadi aneh“ mahasiswa yang mengambil pilihan hidup keluar di zona aman. Turun ke kampung-kampung, membentangkan poster, berdialog dari kampung-kampung, membangun kesadaran rakyat, belajar dari kampung.
Padahal mereka yang “keluar dari out of the box”, sudah diingatkan Antonio Gramsi dalam bukunya “negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organic.
Yang dimaksud dengan intelektual tradional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.
Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.