Musim pancaroba dunia perpolitikan tanah air belumlah usai, panas nya suhu politik pun terasa semakin mendominasi dan menjarah keseluruh penjuru bangsa. Perubahan iklim dalam waktu singkat ini mulai berkembang dan semakin memastikan ketidakkondusifan kondisi negeri atas faktor internal maupun eksternal yang menyelimuti para pelaku politik sekarang ini.
Mereka yang bertahta semakin digdaya dengan mayoritas pendukung yang ada, adapun mereka pengejar tahta layaknya serigala yang bisa kapan saja menerkam domba yang menyebar keseluruh perkarangan dalam batas negara yang diatur oleh hukum.
Faktor ketidakkondusifan ini bahkan sangat terasa oleh timbulnya rasa ketidaknyamanan bahkan cenderung pada rasa ketidakpastian pada sektor sosial selaku sektor utama yang nyatanya bakal berdampak pada seluruh elemen sampai puncak pergolakannya pada hajatan elektoral 2019. Maka tak ayal polemik serta problematika akan terlihat nyata yang didominasi oleh tantangan era millenial.
Demokrasi dan nasionalisme layaknya dua kata yang dalam pengimplementasiannya bakal semakin mudak diobrak-abrik oleh kaum intoleran, kalimat tersebut bukan tanpa alasan menelisik sejauh mana pengaruh pemerintahan yang senantiasa tak berpihak pada kondisi masyarakat secara umumnya. Indah dipandang namun tak peduli dengan bobroknya sistem yang diberlakukan, kalimat yang menggambarkan rasa percaya rakyat kepada penguasa yang dinilai dari hasil yang terlihat nyata.
Problemnya ialah disaat kepercayaan itu lahir dan menguat pada prinsip setiap individu, maka rakyat akan fokus ada hasil yang terlihat namun mengabaikan sejauh mana hasil itu dapat dirasakan.
Contoh yang masih sangat melekat pada ingatan kita ialah Isu pembangunan infrastruktur yang menyebar luas, yang lahir bak sebuah isu yang mendominasi dan mendoktrin nalar sampai intuisi seluruh element masyarakat, dimana pada nyatanya fokus pembangunan tersebut terletak pada kemudahan yang terlihat secara kasat mata, tak peduli berapa hutang yang tertimbun sehingga tidak terlihat pada lapisan permukaan kondisi keuangan negara.
Gerakan Eksploitasi Kerakyatan
Tatkala kesewenang-wenangan itu sukar dimaksudkan dalam artian positif, akibat dari pendominasian data yang menyatakan bahwa sikap tersebut lebih tajam merajut pada sikap acuh tak acuh pada kondisi publik sehingga lebih kepada memaksakan kehendak pribadi demi kepuasaan yang dapat dirasakan. Maka secara mendasar pun, maksud akan eksploitasi ini telah ditelisik secara rinci sebagai sikap yang terlalu berlebihan terhadap suatu subyek tertentu yang hanya bertujuan untuk kepentingan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan, serta kompensasi kesejahteraan masyarakat.
Jika merujuk pada jaminan yang dapat dirasakan rakyat, maka dalam kondisi sekarang ini sangat tidak memungkinkan untuk merancang dan mengembangkan yang namanya resolusi kerakyatan apabila masih diselimuti oleh sikap eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Polemik ini pula yang seakan mengancam kesuksesan berbangsa dan bernegara, karena dalam satu sisi ide berdemokrasi total akan sangat sulit diberlakukan. Kondisi yang carut marut, wacana program yang tak terstruktur, menjadi dasar bahwa ide revolusi yang telah dinisiatifkan tidak terjalankan denga baik dan sukar diterima oleh nalar.
Adapun dalam sistem pemberlakuan terhadap rancangannya sedikit banyaknya akan terhambat, sehingga titik kesulitan atas penghambatan itu cukup dirasakan para revolusioner selaku pendorong gebrakan pembaharu atas diterapkannya semangat nasionalisme di negeri ini.
 Antara Baik dan Buruknya Citra Politik
Kurang dari empat bulan kedepan agenda Pemilu akan sampai pada puncaknya. Segala keperluan pun sudah dalam proses persiapan yang matang, termasuk wacana "pentas megah" yang mulai dirancang jauh-jauh hari. Akibatnya masalah-masalah baru mulai datang yang seakan mustahil dielak, bak badai petir yang menyambar di musim hujan. Termasuk salah satunya fenomena eksploitasi rakyat atas kebijakan-kebijakan politik.
Jangan pernah mengabaikan fenomena baru diatas, kebijakan serta program inisiatif para politisi semakin gencar dilakukan dengan berbagai macam metode. Hal yang patut kita pikirkan bersama ialah dimana letak keseriusan mereka dalam merajut komitmen dan tekad untuk merealisasikan program yang telah ditawarkan.
Serius dalam artian menjunjung tinggi azas keadilan, berkomitmen melaksanakan gagasan yang tertuang dalam visi misi calon legislatif, dan tekad memberi peluang kepada rakyat dalam menyuarakan keadilan serta tak mengekang hak-hak yang melekat pada diri seluruh masyarakat.
Keseriusan diri kita sebagai pemilih pun akan semakin terlihat tatkala "mereka" yang kita pilih itu apakah berlandaskan kejujuran dan keberanian pribadi atau hanya mencoblos surat suara yang diakibatkan oleh serangan fajar dalam bentuk finansial para calon. Rogohan kocek yang tidak seberapa dibandingkan masa jabatan lima tahun yang akan mereka emban, hanya akan menambah citra buruk suguhan politik tanah air periode ini.
Fokus rangkaian cerita di akhir, bahwa pemilih dimudahkan oleh eksistensi pers tanah air yang mulai terlibat hebat dalam mendoktrin pikiran rakyat dalam memilih calon yang mana yang benar dan yang mana yang masalah, yang mana yang sukses membawa indonesia digdaya di pasar perekonomian kedepan yang mana yang gagal dan bahkan tergerus oleh semakin menguatnya Dollar Amerika Serikat.
Mari kembali merujuk sekilas pada maksud eksploitasi tadi, jangan sampai rakyat semakin tertindas dan terpuruk oleh wacana berbagai macam program yang ditawarkan. Karena kedepan hanya ada dua pilihan yang dihadapkan kepada rakyat, menjadi suksesor penguasa atau menjadi boneka penguasa yang senantiasa dimainkan kapapun mereka suka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H