Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yusril dan Rizal Ramli Tersisih di Pilgub DKI Ada Apa?

26 September 2016   07:48 Diperbarui: 26 September 2016   16:35 3861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, yang dalam proses pemilihan Gubernur DKI 2017 berjuang untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, dan memperoleh elektabilitas di bawah Basuki T. Purnama akhirnya tidak dicalonkan partai-partai politik yang tergabung dalam poros Cikeas yang dimotori Partai Demokrat yang didukung PKB, PPP dan PAN serta poros Kertanegara yang dibangun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Demikian juga halnya dengan PDIP, Yusril juga gagal memperoleh tiket untuk menjadi calon Gubrnur DKI.  Pada hal yang bersangkutan ikut mendaftarkan diri dan mengikuti Fit and Proper Test (uji kelayakan) di PDIP, tetapi akhirnya dengan menggunakan hak prerogative ketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri memilih Basuki T. Purnama menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, walaupun dia tidak mendaftar dan mengikuti uji kelayakan di PDIP.

Begitu pula Rizal Ramli, mantan Menteri Maritim dan Sumber Daya Alam RI, juga gagal mendapatkan tiket dari berbagai partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta, walaupun berpotensi untuk menang dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 15 Februari 2017.

Pertanyaannya, mengapa kedua tokoh nasional yang bergelar Ph.D dari luar negeri, memiliki reputasi tinggi karena keduanya pernah duduk di pemerintahan sebagai menteri dan track record (rekam jejak) keduanya cukup baik dan yakin menang dalam pilgub DKI, tidak dicalonkan partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta?

Pragmatisme Politik

DKI Jakarta adalah barometer nasional.  Berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial, pertahanan keamanan dan sebagainya mau menguasai DKI Jakarta sebagai pintu masuk untuk menguasai Indonesia, karena ada yang mengatakan: kalau menguasai DKI berarti telah menguasai Indonesia 60 %.

Maka proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta bagaikan proses pemilihan Presiden RI.  Semua kekuatan turun untuk memenangkan pertarungan guna merebut DKI 1 dan 2 sebagai pintu masuk (entry point) untuk menguasai dan memimpin Indonesia.

Oleh karena itu, proses pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta sangat alot, berlarut-larut dan menegangkan.

Setidaknya ada tiga faktor dominan dalam menetapkan calon Gubernur DKI Jakarta yang diusung.  Pertama, faktor uang sangat dominan dalam memilih calon Gubernur. Apakah calon yang akan diusung memiliki kemampuan dana? Sumber dana bisa dari sang calon, dan bisa pula dari sponsor, seperti taipan yang siap mengucurkan dana.  

Faktor uang dalam jumlah besar ratusan milyar rupiah hingga triliunan rupiah sulit dipenuhi Yusril Ihza Mahendra dan Rizal Ramli.  Keduanya adalah tokoh yang kritis dan berani membela rakyat jelata yang dalam banyak hal berlawanan dengan kepentingan pemodal yang ingin menguasai Indonesia melalui DKI Jakarta, sehingga sulit bagi mereka untuk mendanai keduanya untuk berkompetisi merebut DKI 1. 

Kedua, faktor politik.  DKI Jakarta adalah suhunya Indonesia, siapa yang terpilih menjadi Gubernur DKI berpotensi menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden RI tahun 2019. Maka partai-partai politik sangat berkepentingan, sehingga dalam memilih calon Gubernur DKI adalah dari kalangan sendiri.  

Jika terpilih menjadi Guberbnur DKI seperti Jokowi, maka kelak  menjadi figur yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin nasional tahun 2019 atau pada pilpres berikutnya.  Itulah yang dilakukan SBY, ketua umum Partai Demokrat.

Akan tetapi, ada juga yang berpikir rasional, yang penting bisa memenangkan pertarungan dalam pemilihan Gubernur (pilgub) DKI Jakarta, seperti yang dilakukan Prabowo Subianto dan Sohibul Iman, Presiden PKS dan Salim Segaf Al Jufri, Ketua Dewan Syura PKS, dengan mencalonkan Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang juga mantan juru bicara Jokowi-JK dalam pilpres 2014. 

Kedua partai politik itu sepakat memilih Anies Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno untuk menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI tahun 2017,  tanpa memikirkan kepentingan pribadi Prabowo Subianto yang banyak pihak termasuk saya tidak yakin, beliau mau mencalonkan Yusril, Rizal Ramli dan Anies Bswedan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, karena kalau menang dalam pertarungan di DKI berpotensi menjadi calon Presiden 2019 yang akan menyaingi dirinya menjadi calon Presiden 2019. 

Menurut saya, Prabowo, Sohibul Iman dan Salim Segaf Al Jufri sangat rasional dan mementingkan aspirasi masyarakat DKI yang ingin perubahan, sehingga kekhawatiran banyak pihak termasuk saya, tidak menjadi kenyataan.  Ketiga pimpinan partai itu akhirnya mengusung Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Salahudin Uno  menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Ketiga, faktor popularitas dan elektabilitas. Partai-partai politik memperhatikan popularitas dan elektabiltas calon yang akan mereka usung, karena tidak ada partai politik yang mau kalah, sehingga tidak mungkin mengusung calon yang rendah popularitas dan elektabilitasnya.

 Akan tetapi dalam realitas politik, ada yang mau berspekulasi mencalonkan dari kalangannya sendiri untuk membangun dinasti politik atas dukungan para sengkuni, walaupun  yang dicalonkan sama sekali belum memiliki kapabilitas, popularitas dan elektabiltas untuk memenangkan pertarungan politik di DKI Jakarta.   

Semoga proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta memberi pelajaran kepada Yusril Ihza Mahendra, supaya sungguh-sungguh membesarkan dan memajukan Partai Bulan Bintang (PBB) yang dia pimpin, supaya ada kendaraan politiknya di masa depan agar tidak lagi mengemis ke partai-partai politik lain yang semuanya  hanya janji palsu dan omong kosong.    

Kepada Rizal Ramli, teman dekat saya, teman seperjuangan aktivis 77/78 yang menjadi pejuang sejati, yang konsisten membela dan berjuang untuk rakyat, bangsa dan negara, tetap melanjutkan perjuangan.   

Gagalnya Yusril dan Rizal Ramli dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta, harus dijadikan pelajaran bagi warga DKI Jakarta khususnya untuk mewujudkan perubahan, dengan menghukum mereka dalam pilgub DKI 2017 dan pemilihan legislative tahun 2019.

Allahu a’lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun