Sore ini, 08 September 2016, saya bersama Ridwan Saidi dan Indro Tjahyono menjadi narasumber dalam diskusi panel dan deklarasi BARRI (Barisan Rizal Ramli) dengan tajuk "Menata Ibukota yang Berbudaya dan Manusiawi".
Saya memulai dengan mengutip tulisan yang saya tulis tahun 2013 dalam buku saya yang diberi judul “Bang Jokowi dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru” dengan kata sambuta Gubernur DKI Jakarta Ir. H. Joko Widodo.
Dalam Bab V bertajuk Jakarta Baru, pada halaman 151-163, saya kemukakan tentang permasalahan di DKI Jakarta yang harus diatas yaitu ketidakadilan ekonomi, kemiskinan, korupsi,pengangguran, banjir dan macet.
Setelah Gubernur Jokowi digantikan oleh Wakil Gubernur DKI Basuki T. Purnama melaksanakan amanah sebagai pemimpin Jakarta hampir lima tahun lamanya, harus diakui berbagai keberhasilan yang dilakukan seperti pelayanan terpadu di kelurahan, kecamatan dan walikota cukup baik, kebersihan lingkungan yang meningkat, pembangunan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) di kawasan padat, saluran air (drainase) semakin baik, pembangunan non tol meningkat, dan sebagainya.
Akan tetapi permasalahan utama di DKI Jakarta yang saya kemukakan dalam buku saya masih belum terpecahkan. Bahkan dalam beberapa aspek semakin memburuk dilihat dari aspek sosiologis.
Pertama, masalah ketidak-adilan ekonomi semakin meningkat, yang dicerminkan tingginya tingkat kesenjangan ekonomi di DKI Jakarta. Dalam ukuran ekonomi, ketimpangan di Ibukota sangat kentara. Gini ratio atau indeks ketimpangan DKI Jakarta mencapai 0,46, atau pada urutan tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia (BeritaSatu.com, Senin, 02 Mei 2016 | 21:43).
Kedua, masalah kemiskinan. Menurut BPS (2015) Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2015 sebesar 368,67 ribu orang (3,61 persen). Garis Kemiskinan (GK) bulan September 2015 sebesar Rp 503.038per kapita per bulan (Sumber: Berita Resmi Statistik BPS Prov. DKI, No.04/01/31/Th. XVIII, 04 Januari 2016}
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta telah merilis bahwa jumlah penduduk miskin di Jakarta mengalami kenaikan yakni sebesar 15.630 orang atau meningkat 0,14 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Jumlah penduduk miskin di DKI berdasarkan batas garis kemiskinan menurut BPS, yaitu Rp 503.038perkapita berbulandi bagi 30 hari, maka menjadi Rp 16.768 perkapita perhari.
Kalau berpenghasilan Rp 16.768 ke atasperkapita perhari, maka dikatakan sudah tidak miskin. Pertanyaannya, apakah ada warga DKI Jakarta yang bisa hidup dengan penghasilan tiap kepala perhari sebesar Rp 16.768?
Ketiga, masalah korupsi. Saya memberi apresiasi yang dilakukan Gubernur Basuki T. Purnama untuk mencegah merajalelanya korupsi di DKI Jakarta seperti yang dipersepsikan publik.
Akan tetapi, saya prihatin karena masih terjadi skandal mega korupsi dalam kasus reklamasi, yang melibatkan M. Sanusi, anggota DPRD DKI, kasus Sumber Waras, kasus pembelian lahan milik sendiri DKI seluas 4,7 hektare di Cengkareng Barat dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp 670 miliar dan lain-lain.
Keempat, masalah pengangguran. Di DKI Jakarta, pengangguran masih menjadi masalah besar dan belum terpecahkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang sangat besar jumlahnya yang hampir mencapai Rp 70 triliun, belum bisa menjadi instrument untuk menghilangkan pengangguran.
Masih banyak ditemukan pengangguran terbuka (open unemployment), pengangguran setengah menganggur (under unemployment), dan pengangguran terselubung (disguised unemployment).
Kalaupun mereka bekerja, dengan penghasilan yang sangat minim, sehingga tetap hidup miskin dan tidak mempunyai masa depan.
Kelima, masalah banjir dan macet, masih menjadi persoalan besar di DKI yang tidak kunjung terpecahkan. Hari-hari terakhir ini dengan tingkat curah hujan yang tinggi, telah mengakibatkan banjir di sebagian wilayah di DKI Jakarta khususnya di Jakarta Selatan. Pemprov DKI Jakarta telah bekerja keras mencegah banjir di DKI, tetapi usaha yang dilakukan belum bisa dikatakan berhasil karena banjir bersumber dari hulu yang berada di provinsi lain.
Demikian juga dengan macet, telah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi kemacetan dengan membangun fly over, jalan non tol, penerapan ganjil genap bagi kendaraan pada jam-jam tertentu di jalan protokol di DKI, peningkatan jumlah armada bus Trans Jakarta, tetapi kemacetan di DKI belum teratasi sebagaimana yang diharapkan warga Jakarta.
Realitas Jakarta
Menurut saya menata Jakarta,harus merujukkepada tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu untuk “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”.
Selain itu, menata Jakarta harus berlandaskan Pancasila. Akan tetapi, dalam penataan Jakarta melalui penggusuran warga, tidak ada dimensi “melindungi warga” yang miskin dan marjinal. Juga tidak ada dimensi ‘memajukan kesejahteraan umum”. Warga miskin yang tidak berdaya, dengan alasan tidak memiliki sertifikat tanah yang ditempati digusur tanpa memperoleh uang kerahiman. Sangat menyedihkan karena mereka digusur dengan menggunakan aparat pertahanan dan keamanan.
Dilihat dari perspektif penguasa, mereka yang digusur dan ditempatkan di Rusunawa adalah tindakan mulia, karena mereka yang miskin dan marjinal diberi tempat tinggal yang layak, sehat dan nyaman.
Akan tetapi, tanpa disadari, mereka yang digusur dan ditempatkan di Rusunawa, kehilangan tempat tinggal yang puluhan tahun ditempati, kehilangan mata pencaharian, sumber penghasilan, mereka jauh dari tempat mencari rezeki dan sebagainya. Sementara di Rusunawa, setiap bulan mereka harus membayar listrik, air dan sewa Rusunawa. Pada hal mereka tidak mempunyai penghasilan tetap.
Dampaknya, banyak penghuni Rusunawa, yang terpaksa membuat perjanjian untuk mengembalikan kunci kepada pengelola Rusunawa, karena tidak mampu membayar sewa, listrik dan air. Mereka banyak yang keluar dari Rusunawa dan tidak diketahui di mana tinggal untuk melanjutkan kehidupan.
Selain itu, pemanfaatan E-Budgeting di Jakarta, telah menyebabkan banyak sekali warga yang selama puluhan tahun menggantungkan hidup dari proyek-proyek APBD DKI kehilangan sumber penghasilan dan penghidupan karena semua harus ditender.
Disamping itu, dana hibah ke berbagai lembaga sosial dihapus.
Bagaimana Menata Jakarta?
Sebagai sosiolog, saya mengusulkan penataan Jakarta, setidaknya dilakukan lima hal: Pertama, menata Jakarta dengan memberi fokus utama pada pembangunan manusia yang saya sebut people center development. Dalam rangka people center development, pendidikan anak-anak miskin di DKI harus diberi perhatian utama. Instrumennya, Komisi Beasiswa harus didirikan, yang tujuan untuk menghimpun dana dari publik, BUMN, BUMD dan sumber-sumber yang halal untuk memberi beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan luar negeri, sehingga berwujud program “Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana”.
Kedua, mengatasi ketidakadilan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, dengan cara memaksimalkan pendayagunaan APBD untuk meningkatkan ekonomi warga Jakarta menengah ke bawah melalui politik pemihakan dalam wujud “affirmative action” dan “special treatment”. Caranya, proyek-proyek pemerintah DKI yang bersifat “captive market”, ordernya diberikan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi pribumi melalui penunjukan langsung. Selain itu, berbagai pasar yang dibangun Pemprov DKI, dilantai pertama dan kedua yang banyak dkunjungi pembeli diprioritaskan kepada usaha kecil menengah pribumi. Usaha mereka didata, dibina, dan diberi modal kerja dan modal usaha serta diberi pelatihan pemasaran dan pengawasan secara berkala.
Ketiga, investasi dalam dan luar negeri, harus diupayakan dan dimaksimalkan untuk sebesar-besar peningkatan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Bukan semakin memajukan mereka yang sudah maju dan besar.
Keempat, penataan kota tanpa penggusuran. Dikawasan yang akan ditata, disediakan lahan bagi pembangunan apartemen sederhana bagi warga miskin dan warga yang mau ditata tempat tinggalnya.
Kelima, pemimpin sebagai hal yang amat penting. Oleh karena itu, pemimpin DKI Jakarta harus menjadi role model yang memberi contoh teladan bagi warga Jakarta dan Indonesia, karena DKI adalah ibukota negara merupakan barometer Indonesia dan cermin bagi dunia internasional tentang Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H