Akan tetapi, saya prihatin karena masih terjadi skandal mega korupsi dalam kasus reklamasi, yang melibatkan M. Sanusi, anggota DPRD DKI, kasus Sumber Waras, kasus pembelian lahan milik sendiri DKI seluas 4,7 hektare di Cengkareng Barat dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp 670 miliar dan lain-lain.
Keempat, masalah pengangguran. Di DKI Jakarta, pengangguran masih menjadi masalah besar dan belum terpecahkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang sangat besar jumlahnya yang hampir mencapai Rp 70 triliun, belum bisa menjadi instrument untuk menghilangkan pengangguran.
Masih banyak ditemukan pengangguran terbuka (open unemployment), pengangguran setengah menganggur (under unemployment), dan pengangguran terselubung (disguised unemployment).
Kalaupun mereka bekerja, dengan penghasilan yang sangat minim, sehingga tetap hidup miskin dan tidak mempunyai masa depan.
Kelima, masalah banjir dan macet, masih menjadi persoalan besar di DKI yang tidak kunjung terpecahkan. Hari-hari terakhir ini dengan tingkat curah hujan yang tinggi, telah mengakibatkan banjir di sebagian wilayah di DKI Jakarta khususnya di Jakarta Selatan. Pemprov DKI Jakarta telah bekerja keras mencegah banjir di DKI, tetapi usaha yang dilakukan belum bisa dikatakan berhasil karena banjir bersumber dari hulu yang berada di provinsi lain.
Demikian juga dengan macet, telah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi kemacetan dengan membangun fly over, jalan non tol, penerapan ganjil genap bagi kendaraan pada jam-jam tertentu di jalan protokol di DKI, peningkatan jumlah armada bus Trans Jakarta, tetapi kemacetan di DKI belum teratasi sebagaimana yang diharapkan warga Jakarta.
Realitas Jakarta
Menurut saya menata Jakarta,harus merujukkepada tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu untuk “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”.
Selain itu, menata Jakarta harus berlandaskan Pancasila. Akan tetapi, dalam penataan Jakarta melalui penggusuran warga, tidak ada dimensi “melindungi warga” yang miskin dan marjinal. Juga tidak ada dimensi ‘memajukan kesejahteraan umum”. Warga miskin yang tidak berdaya, dengan alasan tidak memiliki sertifikat tanah yang ditempati digusur tanpa memperoleh uang kerahiman. Sangat menyedihkan karena mereka digusur dengan menggunakan aparat pertahanan dan keamanan.
Dilihat dari perspektif penguasa, mereka yang digusur dan ditempatkan di Rusunawa adalah tindakan mulia, karena mereka yang miskin dan marjinal diberi tempat tinggal yang layak, sehat dan nyaman.
Akan tetapi, tanpa disadari, mereka yang digusur dan ditempatkan di Rusunawa, kehilangan tempat tinggal yang puluhan tahun ditempati, kehilangan mata pencaharian, sumber penghasilan, mereka jauh dari tempat mencari rezeki dan sebagainya. Sementara di Rusunawa, setiap bulan mereka harus membayar listrik, air dan sewa Rusunawa. Pada hal mereka tidak mempunyai penghasilan tetap.