Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Secara Sosiologis, Pilkada Langsung Banyak Mudaratnya

14 Juli 2016   09:40 Diperbarui: 15 Juli 2016   08:31 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.com/Robertus Belarminus Puluhan orang yang tergabung dalam parade rakyat melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran HI menolak pilkada langsung.

Hari ini, 14 Juli 2016, saya kembali menurunkan tulisan oleh-oleh dari mudik di Kendari - Konawe, Sulawesi Tenggara yang saya lakukan pada 7-12 Juli 2016.

Masalah yang banyak dibicarakan oleh masyarakat ketika mereka bersilaturrahim dengan saya atau saya bersilaturrahim dengan tokoh masyarakat, pengusaha, politisi, birokrat dan penguasa ialah pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang berdasarkan pengalaman mereka dalam mengikuti pemilihan kepala daerah langsung lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Contoh kasus yang mereka kemukakan kepada saya ialah pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di kabupaten Konawe dan Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. 

Timbulkan Disintegrasi Sosial

Pemilihan kepala daerah langsung yang dilaksanakan pada tahun 2015 lalu di dua kabupaten tersebut masih menyisakan permusuhan sosial yang melahirkan disintegrasi sosial antara saudara, keluarga besar,  teman, masyarakat dan antar partai politik.  

Adik ipar saya sebagai contoh kasus, karena jabatannya di pemerintahan Kabupaten Konawe harus loyal kepada Bupati sebagai petahana (incumbent) yang kembali mencalonkan diri menjadi Bupati untuk periode kedua.  Sementara kakaknya yang sudah pensiun PNS/ASN menjadi ketua tim sukses Wakil Bupati yang mencalonkan diri menjadi Bupati Konawe.

Pendirian dan sikap politik kakak - adik ini telah memecah belah keluarga besar. Pada hal pemilihan kepala daerah langsung sudah lama berakhir, sudah terpilih dan telah dilantik Bupati baru hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, Adik ipar saya sebagai ASN/PNS telah mengganti loyalitasnya kepada Bupati baru,  dan membantu dengan bekerja keras untuk menyukseskan pemerintahannya, tetapi disintegrasi sosial mulai dari keluarga, teman, satu organisasi dan partai politik, masyarakat, dan sebagainya, masih terus berlangsung.

Lebaran Idul Fitri sebagai momentum untuk bersilaturrahim dan saling bermaaf-maafan, tidak dimanfaatkan. Kebencian dan permusuhan tetap lestari di kalangan keluarga dan di masyarakat.

Hal serupa terjadi di kabupaten Muna, bahkan lebih parah permusuhannya dan disintegrasi sosial karena sudah dua kali dilakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang) belum berhasil memilih Bupati definif.   

Oleh karena itu, ada benarnya ungkapan dan curahan hati (curhat) para tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa, guru, ASN, pengusaha, aktivis LSM dan penguasa yang bersilaturrahim dengan saya atau yang saya temui mereka dalam silaturrahim Idul Fitri 1437 H, dilihat dari perspektif sosiologis bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Politik Uang dan Korupsi

Salah satu aib besar dalam pilkada langsung ialah merajalelanya politik uang. Kalau di masa lalu di era Orde Baru, Pilkada tidak langsung, yang mengamalkan politik uang hanya para elit politik yaitu para calon bupati, calon walikota dan calon gubernur dan para para anggota DPRD di semua tingkatan yang menerima suap dalam politik uang.

Di era Reformasi, dengan diamalkannya pilkada langsung, maka yang melakukan politik uang ialah semua calon pemimpin daerah dan semua rakyat yang menjadi pemilih.

Politik uang dalam bentuk sogok atau suap dalam pilkada langsung telah menjadi bagian dari kehidupan demokrasi di Sulawesi Tenggara dan di Indonesia. Pada hal politik uang tidak lain dan tidak bukan adalah praktik korupsi yang masif karena dilakukan semua calon dan hampir semua pemilih.  

Politik transaksional telah dijadikan budaya dalam pilkada langsung, sehingga merusak moral dan agama masyarakat, meruntuhkan Pancasila dan UUD 1945.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian sebagai institusi negara yang bertugas melakukan pencegahan dan penegakan hukum, tidak berdaya dan lumpuh dalam mencegah merajalelanya praktik politik uang dan korupsi dalam pilkada langsung.

Gagal Sejahterakan Rakyat

Hasil pilkada langsung yang penuh dengan politik uang, siapapun yang terpilih dalam pilkada langsung sulit memberi kesejahteraan kepada rakyat. Kalaupun ada bisa hitung jari. Salah satunya yang nyata memberi bukti dan manfaat kepada masyarakat yang disaksikan dalam mudik di kampung halaman ialah Walikota Kendari, DR. Ir. Asrun, M.Sc.  

Mengapa mereka sulit berbuat baik bagi masyarakat dan daerah yang dipimpinnya?

Pertama, harus mengembalikan uang yang dikeluarkan selama mengikuti Pilkada langsung. Maka semua proyek, harus dikuasai oleh sang penguasa dan mereka yang diberi kepercayaan untuk mengerjakan proyek adalah kroni yang bisa memberi upeti kepadanya.  

Kedua, terlalu serakah, sehingga semua proyek berkualitas rendah karena terjadi pemotongan anggaran proyek di berbagai aspek, untuk upeti kepada penguasa yang besarnya tergantung deal (perjanjian), tetapi tidak kurang dari 30 persen dan bahkan lebih besar dari itu.

Ketiga, semua proyek diberikan kepada pengusaha yang sudah berinvestasi melalui bantuan dalam pemenangan pilkada langsung. Rakyat jelata terutama pengusaha kecil tidak mendapat peluang untuk mendapatkan pekerjaan dari berbagai anggaran belanja daerah (APBD) dan bahkan anggaran belanja nasional (APBN) karena selama berlangsungnya pilkada langsung tidak bisa berkontribusi untuk menyumbang kepada para calon yang bertarung dalam Pilkada.

Maka Pilkada langsung, dimaknai para tokoh agama, guru, aktivis pergerakan, ASN, pengusaha kecil, dan rakyat jelata di kampung halaman di Kendari dan Konawe, Sulawesi Tenggara, yang bersilaturrahim dengan saya atau yang saya temui dalam silaturrahim lebaran Idul Fitri 1437 H, hanya menghamburkan uang negara, menciptakan korupsi besar-besaran di kalangan rakyat jelata, dan  tidak memberi manfaat banyak bagi kemajuan daerah, masyarakat, bangsa dan negara.  

Semoga oleh-oleh kedua yang saya dapatkan saat mudik lebaran di kampung halaman, Kendari dan Konawe, Sulawesi Tenggara, bisa menyadarkan rakyat dan para calon pemimpin daerah untuk berhenti korupsi dalam pilkada langsung tahun 2017.      

Allahu a’lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun