Kemarin (03/6/2016) sebelum shalat Jum’at, Irwan dari MNC Media mewawancarai saya di Universitas Ibnu Chaldun (UIC) tentang rencana pemerintah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diistilahkan rasionalisasi sebanyak 1,37 juta PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang menurut UU diubah namanya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Oleh karena tidak semua menonton TV di MNC Group dan durasi penyiaran di TV terbatas, saya coba tulis kembali apa yang saya kemukakan dalam wawancara tersebut. Selain itu, saya menambahkan beberapa hal yang terkait dengan topik tersebut, dengan harapan alasan penolakan saya adanya PHK massal di kalangan PNS/ASN bisa dibaca dan diketahui secara luas, tidak diinterpretasikan untuk kepentingan politik sesaat, dan moga-moga para pembaca bisa berpartisipasi dalam memberikan usulan dan jalan keluar agar PHK massal PNS/ASN tidak dilakukan.
Menambah Jumlah Pengangguran
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa. Pada Agustus 2015, tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan didominasi oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12,65 persen, disusul Sekolah Menengah Atas sebesar 10,32 persen, Diploma 7,54 persen, Sarjana 6,40 persen, Sekolah Menengah Pertama 6,22 persen, dan Sekolah Dasar ke bawah 2,74 persen (Beritagar.id, 05/11/2015).
Meningkatnya pengangguran di Indonesia belum termasuk penganggur terselubung yang sangat banyak jumlahnya. Hal itu terjadi setidaknya ada tiga alasan. Pertama, jumlah angkatan kerja baru setiap tahun sekitar 2,5 juta orang. Daya serap dunia industri, dunia perbankan, perdagangan, pertanian, perikanan, usaha koperasi, menengah, kecil (UKMK), dan sebagainya cenderung terus menurun karena meningkatnya pemakaian teknologi digital yang menimbulkan efiseiensi sehingga banyak tenaga kerja baru yang tidak tertampung.
Kedua, melemahnya perekonomian global, telah berdampak negatif ke dalam negeri Indonesia dengan tidak tumbuhnya perekonomian nasional secara signifikan. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja baru ikut memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan.
Ketiga, tenaga kerja lama yang belum mendapat pekerjaan ditambah tenaga kerja baru yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapat pekerjaan menyebabkan jumlah pengangguran bertambah secara akumulatif.
Dalam perbincangan saya dengan beberapa pengojek seperti GoJek dan GrabBike, begitu juga dengan Uber dan GrabCar, mereka memilih pekerjaan tersebut karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa memberikan penghasilan. Daripada menganggur lebih baik jadi pengojek atau sopir Uber atau sopir GrabCar. Jika pemerintah melaksanakan road map rasionalisasi PNS/ASN sebanyak 1,37 juta orang, akan semakin besar jumlah pengangguran di Indonesia.
Memberi Dampak Negatif
Dalam wawancara saya dengan Irwan dari MNC Media, saya kemukakan dampak negatif dari PHK Massal PNS/ASN. Pertama, bagi keluarga terutama dalam bidang pendidikan anak-anak mereka. Anak-anak mereka yang sedang menempuh pendidikan akan mengalami permasalahan psikologis dan ekonomi, serta dengan lingkungan sosial. PNS/ASN yang di-PHK akan mengalami persoalan psikologis, ekonomi, dan harga diri. Menjadi penganggur tidak enak, bukan saja tidak ada income (pemasukan) tiap bulan, tetapi tinggal di rumah sepanjang hari merupakan persoalan yang tidak ringan. Lingkungan sosial tempat tinggal bisa memberikan citra negatif bagi yang bersangkutan.
Kedua, bagi ekonomi keluarga dan masyarakat. Setiap keluarga PNS/ASN setidaknya menghidupi lima orang. Berarti kalau ada 1 juta PNS/ASN di PHK, ada lima juta orang yang akan mendapat masalah ekonomi. Belum lagi dampak turunan dari itu, yang setiap hari mereka berbelanja, otomatis memberikan dampak positif bagi ekonomi masyarakat, dan juga pertumbuhan ekonomi nasional karena konsumsi keluarga termasuk penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketiga, bagi sosial dan politik. Kebijakan PHK Massal bagi PNS/ASN pasti memberi dampak sosial dan politik. Walaupun sekarang ini, oposisi semakin melemah setelah partai Golkar dan PAN mendukung pemerintah, tetapi civil society, mereka yang di-PHK dan yang digusur akan bergabung melakukan perlawanan dengan menggunakan media sosial untuk menciptakan keresahan sosial dan perlawanan politik.
Oleh karena itu, sebagai sosiolog, saya menyarankan supaya PHK massal terhadap PNS/ASN tidak dilakukan. Sebaiknya dilakukan, pertama, moratorium penerimaan PNS/ASN selama empat tahun. Mereka yang sudah memasuki masa pensiun yang setiap tahun sekitar 300 ribu orang, jangan diganti dengan menerima PNS/ASN baru. Â Â
Kedua, menyetop pendirian provinsi, kota, dan kabupaten baru yang banyak menyerap penerimaan pegawai baru dan menghabiskan anggaran. Â
Ketiga, menghentikan korupsi dalam pelaksanaan pembangunan fisik yang masih terus berlanjut. Selain penghematan anggaran yang sudah dilakukan pemerintah. Â Nilai dana pembangunan fisik yang korupsi sangat fantastik karena menurut Mahendra, pengawas proyek pemerintah yang sudah malang-melintang, jumlah yang dikorupsi bisa mencapai 40 persen.
Menurut saya, PHK atau rasionalisasi PNS/ASN bukan solusi, tetapi melakukan penghematan anggaran, dan menghentikan korupsi di bidang anggaran proyek pemerintah, karena menurut Mahendra, sekitar 75 persen masih dikelola dengan curang.
Allahu a’lam bisshawab  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H