[caption caption="Sumber gambar: print.kompas.com"][/caption]Sebagian berpendapat bahwa membangun DKI Jakarta dan Indonesia tidak mungkin tanpa menggusur rakyat jelata (wong cilik) yang mendiami kawasan yang dikategorikan illegal.
Pandangan itu telah diwujudkan oleh para penguasa sejak Orde Baru sampai di era Orde Reformasi dengan melakukan penggusuran demi penggusuran terhadap rakyat jelata dengan berbagai alasan, misalnya penggusuran Pasar Ikan Luar Batang Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, telah dikemukakan bahwa tujuannya untuk membangun 'wisata maritim' di kawasan yang digusur.
Akan tetapi, tanpa disadari akibat penggusuran yang dilakukan telah menciptakan banyak permasalahan.
Pertama, tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu 'melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…….”, semakin jauh dari yang diinginkan.
Kedua, kelima sila dari Pancasila semakin jauh dari implementasi. Mulai dari sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai sila kelima “Keadilan sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia” hanya dihafal dan sering diucapkan, tetapi tidak direalisasikan dalam kenyataan.
Ketiga, pembangunan yang dilaksanakan sejak Orde Baru sampai di era Ode Reformasi, telah gagal mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan hanya semakin memperkaya orang-orang kaya dan rakyat jelata tidak kunjung keluar dari lembah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Keempat, pembangunan semakin menciptakan kesenjangan sosial ekonomi. Merupakan fakta gini rasio di DKI Jakarta, termasuk yang tertinggi sekitar 0,43. Artinya pembangunan hanya menguntungkan sekelompok kecil, sementara rakyat jelata yang merupakan mayoritas tidak banyak mendapat manfaat dari pembangunan.
Kelima, kemiskinan dan kebodohan masih menjadi bagian dari kehidupan rakyat jelata, yang sering digusur dan sekarang ini dipandang bahwa menempatkan mereka di rumah susun sewa merupakan solusi, dalam realitas justru semakin sulit kehidupan mereka.
Fakta dan Realitas
Selama ini pemerintah provinsi DKI Jakarta berpendapat bahwa kawasan yang ditertibkan direlokasi ke rumah susun sewa (rusunawa) sebagai solusi.
Mereka yang berpandangan legalistik mengamini dan mendukung kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sebagai contoh, rekan saya Evert Matulessy, Aktivis Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa 77/78 mengirim Whatsapp (WA) kepada saya beberapa hari lalu, supaya saya ikut mendorong “manusia perahu” pindah ke rusunawa yang telah disiapkan di Marunda, Jakarta Utara, dan di Rawa Bebek, Jakarta Timur.
Saya setuju usulan tersebut, tetapi warga yang digusur berpendapat lain. Dari dialog yang saya lakukan sebanyak tiga kali dengan beberapa warga yang mengalami penggusuran di Pasar Ikan dan Kampung Akuarium, mereka menjawab, tidak pindah di rusunawa yang telah disiapkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Pertama, merasa tidak mampu membayar sewa rumah susun. Percuma pindah ke rusun karena akhirnya akan disuruh keluar seperti yang banyak dialami rakyat jelata lainnya.
Pendapat tersebut ada benarnya, karena warga ex Kampung Pulo yang digusur beberapa waktu lalu dan ditempatkan di Rusun Jatinegara, menurut informasi yang sangat valid sudah 38 keluarga yang menunggak sewa rusun. Besaran tunggakan antara Rp 1,7 juta sampai terendah Rp 1,2 juta. Pengelola sudah mendiktekan mereka untuk membuat pernyataan, kalau sampai Bulan Mei 2016 tidak sanggup membayar, mereka secara suka rela akan mengembalikan kunci kamar yang ditempati kepada pengelola.
Kedua, mereka menjadi penyewa seumur hidup. Mereka berpendapat, walaupun rumah mereka yang digusur, tempatnya dianggap kurang layak, tetapi milik sendiri.
Ketiga, sempit-tidak mampu dihuni semua keluarga mereka. Pada umumnya rakyat jelata banyak anak dan anak yang sudah berkeluarga, masih bergabung dengan orang tuanya, sehingga dalam satu keluarga bisa mencapai puluhan orang.
Keempat, jauh dari tempat mereka mencari nafkah. Dalam kasus warga Pasar Ikan yang digusur, benar sekali pernyataan mereka. Mereka itu mencari nafkah di laut dengan menggunakan perahu. Setelah mereka digusur dan ditempatkan di Rusun Marunda Jakarta Utara, dan Rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur, memerlukan tiga kali ganti kendaraan umum untuk sampai ke lokasi tempat perahu mereka sandar. Sebagai nelayan, tidak setiap hari mendapat rezeki kalau melaut. Belum lagi kalau sedang angin kencang dan gelombang tinggi, mereka tidak bisa melaut. Selain itu, siapa yang menjaga keselamatan perahu dan peralatan menangkap ikan mereka ketika mereka pindah di rusun.
Kelima, mereka yang digusur, termasuk di Pasar Ikan dapat dikatakan memulai hidup dari nol. Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan gerobak dan modal kerja Rp 5-10 juta, tetapi pekerjaan mereka adalah nelayan, berlayar dan kuli di pelabuhan Sunda Kelapa. Selain itu, mereka yang menempati rumah susun adalah masyarakat bawah, yang daya belinya rendah. Maka tidak akan menolong dan meningkatkan kehidupan mereka, disuruh berdagang ditempat mereka tinggal. Bisa jadi modal kerja akan habis dimakan, karena banyak yang mau membeli tapi daya beli rendah, karena semua miskin dan tidak ada pekerjaan dan penghasilan tetap.
Belajar dari Kota Kendari
Kota Kendari sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara menghadapi persoalan sosial yang tidak terlalu jauh berbeda dengan DKI Jakarta. Walaupun tingkat kompleksitas DKI Jakarta jauh lebih besar karena penduduknya besar, tetapi mempunyai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sangat besar –hampir mencapai Rp 70 triliun.
Pertanyaannya, pelajaran apa yang bisa diambil dari pembangunan di kota Kendari? Pertama, dengan APBD yang tidak sampai Rp 200 milyar per tahun, mampu membangun Rumah Susun (Rusun) untuk nelayan di pesisir pantai Kota Kendari dan pemulung di TPA. Setelah rusun dibangun di dekat tempat mereka tinggal, melalui dialog dan musyawarah, mereka pindah ke rusun, tanpa melalui penggusuran yang melibatkan aparat TNI, Polisi dan Satpol PP.
Kedua, rumah susun yang ditempati nelayan dan pemulung, semuanya gratis. Tidak ada sewa rusun, listrik, air juga gratis.
Ketiga, buruh di pelabuhan juga dibangunkan rusun dan semua gratis.
Menurut saya, apa yang dilakukan di Kota Kendari adalah sesuai UUD 1945 pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Selain itu, Pemerintah Kota Kendari juga mengamalkan sila-sila dari Pancasila.
Kalau pemerintah Kota Kendari dengan APBD yang masih kecil bisa melakukan terobosan seperti dikemukakan di atas, maka pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat bisa melakukan yang dilakukan pemerintah Kota Kendari karena mempunyai APBD yang sangat besar.
Dalam dialog di JakTV (Rabu, 20/4/2016) malam dengan narasumber Ibu Meli, Dinas Pembangunan DKI Jakarta dan saya sebagai Sosiolog, saya sudah kemukakan dan saya usulkan supaya pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan penggusuran dan mencontoh model pembangunan yang dilakukan pemerintah Kota Kendari tanpa menggusur rakyat jelata, membangun rusun dan gratis bagi mereka.
Saya yakin berdasarkan realitas, menggusur rakyat jelata dari tempat tinggal mereka dengan alasan apapun, dan merelokasi mereka ditempat yang jauh dari penghidupan mereka, apalagi rusun yang ditempati harus menyewa, membayar listrik dan air, bukan solusi tetapi justeru semakin menambah kesulitan hidup mereka.
Allahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H