Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menteri Gaduh, Rizal Ramli Dipersalahkan

10 Maret 2016   07:29 Diperbarui: 10 Maret 2016   11:22 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rizal Ramli "][/caption]

Salah satu warisan Orde Reformasi yang kita nikmati sekarang ialah kemerdekaan menyatakan pendapat.  Akan tetapi, kemerdekaan menyatakan pendapat, menurut saya sedang mengalami ancaman karena publik dan para elitnya tidak suka kalau ada kegaduhan.

Pada hal dalam demokrasi, hampir tidak mungkin tidak ada kegaduhan politik, karena setiap orang diberi kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam bentuk lisan maupun tulisan.  Dalam menyatakan pendapat, pasti ada perbedaan pendapat dan perbedaan itu melahirkan kegaduhan.   

Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya”.  

Oleh karena itu, gaduh jangan dijadikan momok, karena demokrasi menolerir terjadinya perbedaan pendapat.  Dalam perbedaan pendapat, pasti melahirkan kegaduhan.

Kalau tidak mau ada kegaduhan, berarti kita tidak mau ada demokrasi.  Kalau tidak mau ada demokrasi, berarti mau memutar jarum sejarah, kembali ke era demokrasi terpimpin atau era Orde Baru, di mana tidak ada kebebasan untuk menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan.

Merubah Budaya Koruptif

Bangsa dan negara Indonesia sudah mengalami kerugian besar di masa dahulu, akibat semua diputuskan para elit penguasa, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat untuk memberi masukan terhadap suatu hal yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Di masa Orde Baru, demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas ditegakkan dengan memasung suara rakyat - tidak boleh menyatakan pendapat secara bebas apalagi mengeritik mereka yang sedang berkuasa. 

Hasilnya, ekonomi tumbuh dalam kurun waktu yang panjang, stabilitas tegak dibawah kawalan ABRI (TNI), tetapi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela.  Kolusi antara penguasa dan pemodal (investor) menjadi tradisi dan budaya.

Orde Reformasi lahir 21 Mei 1998 melalui gerakan mahasiswa yang didukung penuh oleh rakyat Indonesia untuk mengoreksi budaya KKN. 

Akan tetapi, merubah budaya koruptif, dari mereka yang sedang berkuasa dari pusat sampai di daerah seluruh Indonesia, sangat sulit. 

Budaya korupsi yang belum berhasil dihapus dikalangan mereka yang sedang berkuasa ialah dagang kekuasaan.  Mereka yang sedang berkuasa, yang asalnya dari pedagang memperdagangkan kekuasaannya untuk mendapatkan kemudahan dan fasilitas dari berbagai proyek pemerintah.

Selain itu, mereka yang sedang berkuasa di parlemen dan di eksekutif, mengatur proyek-proyek pemerintah.   Melalui orang-orang kepercayaan di lapangan, proyek-proyek pemerintah dibagi-bagi dan mereka yang memiliki kekuasaan secara langsung mendapat komisi dalam jumlah yang besar tanpa bekerja.

Disamping itu, para pengusaha kroni memgusulkan berbagai proyek yang sesungguhnya tidak terlalu diperlukan dan tidak memberi manfaat besar bagi rakyat dan negara, tetapi dibangun untuk memenuhi usulan  pengusaha.  

Praktik semacam itu, sejak Orde Baru sampai di era Orde Reformasi masih berlangsung.

Investasi Asing dan Rizal Ramli

Investasi asing tidak ada seorangpun yang tidak menganggap penting dan diperlukan. Akan tetapi, kekayaan alam yang akan dieksplorasi oleh pihak asing haruslah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Rizal Ramli, mantan aktivis mahasiswa 77/78 yang pernah mendekam dipenjara, ekonom terkemuka Indonesia, saya sebagai sosiolog, memberi apresiasi yang tinggi karena masih terus memegang idealisme untuk membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Saya menyaksikan, beberapa teman yang pernah mendapat jabatan penting di pemerintahan, sesudah masuk ke dalam kekuasaan, larut atau setidak-tidaknya "diam" demi mengamankan kekuasaan yang sudah digenggam.

Rizal Ramli dari dalam kekuasaan, berani mengemukakan persoalan besar yang harus dikoreksi seperti perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia, pembelian pesawat, pembangunan Kilang Blok Masela dan lain-lain, yang kemudian dianggap menimbulkan kegaduhan.

Pada hal yang dikemukakan adalah masalah yang amat prinsipil dan substantif dan menjadi tujuan reformasi yang sudah dilupakan serta program Nawacita dan Tri Sakti.

Saya sangat  menyayangkan sebagian elit masih memegang budaya lama bahwa gaduh itu tidak baik, pada hal gaduh untuk kebaikan dan dalam rangka mengoreksi praktik KKN yang sudah membudaya di Indonesia sungguh amat diperlukan.

Sejatinya, publik berterima kasih kepada Presiden Jokowi yang memberi amanah kepada Rizal Ramli, dan Rizal Ramli diberi apresiasi karena tetap istiqamah – konsisten dan berani menyuarakan kebenaran dan kejujuran.

Tidak banyak ilmuan Indonesia seperti Rizal Ramli,  yang masuk ke dalam gerbong kekuasaan, tetap bersuara lantang dalam rapat-rapat kabinet dan di publik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya yang masih terpuruk.   Biasanya takut bersuara karena tidak mau menerima resiko. 

Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan mengutip ungkapan Dr. Drajat Wibowo, Ekonom dan Politisi PAN dalam talk show di TV ONE beberapa hari lalu “Jangan takut berbuat gaduh untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara”.

Allahu a’lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun