Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Universitas Bersaing Ketat, Pemerintah Harus Adil

13 Februari 2016   07:01 Diperbarui: 13 Februari 2016   09:40 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Musni Umar didepan Pasca Sarjana UNJ"][/caption] Pada hari Jum’at, 12 Februari 2016, pukul 06.15 saya meninggalkan rumah di Cipete Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan, menuju Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, yang terletak di jalan Pemuda, Rawamangan, Jakarta Timur, tiba pukul 7.20. Saya kemudian berolah raga dengan berjalan kaki di Jalan Pemuda, lalu berputar dan masuk ke kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan mengelilingi kampus tersebut.

Setelah berputar satu kali, akhirnya saya masuk ke kantin UNJ dan kemmudian memesan juz jambu mix wortel dengan harga Rp 8.000 (delapan ribu rupiah).

Saya menyaksikan beberapa gedung yang sedang dalam taraf pembangunan dan penyelesain. Kemudian saya membandingkan dengan Universitas Indonesia (UI), yang pada Rabu, 10 Februari 2016, saya mengunjunginya dalam rangka legalisasi ijazah. Saya sempat mengelilingi kampus UI dengan naik mobil.

Saya bisa membandingkan antara UNJ dan UI, sama-sama universitas negeri, yang dibiayai oleh pemerintah, tetapi perkembangan UI jauh lebih maju dalam segala bidang.

Pertanyaannya, mengapa UI lebih maju? Setidaknya ada lima alasan. Pertama, nama UI sudah merupakan jaminan, dianggap “hebat dan berkualitas”. Masyarakat sudah memberi cap seperti itu. Semua tamatan SMA, SMK, Aliyah bermimpi masuk di UI.

Kedua, mereka yang pernah belajar di UI merasa bangga, sehingga banyak alumni yang terdorong mendonasikan hartanya untuk membangun UI.

Ketiga, para pejabat dari UI biasanya menggunakan posisi mereka untuk berkontribusi membangun kebesaran UI.

Keempat, mahasiswa UI memperoleh banyak beasiswa dari berbagai lembaga. Pada hal mayoritas mahasiswa UI dari kalangan menengah ke atas.

Kelima, dalam realitas, mereka yang sudah besar semakin dibesarkan, dan yang kecil dibiarkan kecil.
Selain itu, saya bisa memastikan UI mendapat anggaran dari pemerintah jauh lebih besar dibanding UNJ dan universitas negeri lainnya.

Pada masa mendatang, pemerintah diharapkan memberi anggaran yang lebih adil, bukan dalam arti sama rata rasa rasa, tetapi justeru universitas yang belum maju, semakin ditingkatkan anggarannya supaya juga bisa berkembang maju lebih cepat.

Universitas Swasta

Di universitas swasta terasa sangat tidak adil. Pemerintah sadar atau tidak sadar memperlakukan sama antara universitas yang didirikan para tokoh yang hanya bermodal idealisme dan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, disamakan dengan universitas yang didirikan para konglomerat.

Para konglomerat yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru, telah berlomba mendirikan universitas. Mereka memiliki dana yang besar, sehingga mampu menggait para ilmuan terkemuka untuk mengajar di universitas yang mereka dirikan, karena sanggup membayar mahal dan sanggup mendirikan bangunan universitas yang mewah dengan berbagai peralatan dan fasilitas yang lengkap dan sangat memadai.

Sejatinya pemerintah tidak lagi membantu mereka kecuali pelayanan yang baik, tetapi bantuan dana termasuk bantuan beasiswa tidak boleh lagi diberikan oleh pemerintah, karena mereka bisa memberi beasiswa dengan subsidi silang kepada mahasiswa yang kurang mampu.

Saatnya pemerintah bersikap adil dengan memberdayakan dan memajukan universitas yang belum maju, sehingga mereka juga bisa berkembang maju dan dapat bersaing.

Cara-cara pembinaan dengan menonaktifkan berbagai universitas yang dianggap bermasalah, tidak boleh lagi diulangi, karena bukannya pembinaan tetapi menghancurkan mereka.

Kasus penonaktifan sebanyak 243 PTS (Perguruan Tinggi Swasta) diharapkan adalah yang pertama dan terakhir. Penonaktifan tersebut membuat mereka terpuruk luar biasa, apalagi diberitakan media dengan sebutan “universitas abal-abal”. Jumlah mahasiswa mereka ada yang berkurang sampai 50 persen. Sementara mereka tidak mendapat bantuan dana dan fasilitas apapun dari pemerintah, pada hal mereka di nonaktifkan dalam rangka “pembinaan”.

Kalau ada masalah, pimpinan yayasan dan pimpinan universitas yang dipanggil, Jangan lembaganya dinonaktifkan.

Kementerian Riset, Teknologi Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, sudah saatnya bersikap adil dengan memihak kepada universitas atau perguruan tinggi yang belum maju, supaya mereka juga bisa bangkit dalam era persaingan bebas, yang tidak mungkin dihindarkan.

Allahu a’lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun