Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melawan Lupa Kekejaman Rezim Orde Baru terhadap Aktivis 77/78

22 Januari 2016   14:10 Diperbarui: 22 Januari 2016   14:34 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filosof Romawi Cicero (106-43 SM) mengatakan bahwa “sejarah adalah guru kehidupan”. Begitu pentingnya sejarah, sehingga Bung Karno (1901-1970) pernah berkata “Jasmerah” (jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah}.

Maka membicarakan sejarah kekejaman rezim Orde Baru terhadap aktivis dewan mahasisra/senat mahasiswa dan ormas kemahasiswaan, bukan dimaksudkan untuk mengungkap “luka lama” dan bermotif mendiskreditkan rezim Orde Baru, tetapi untuk melawan lupa supaya kita selalu ingat, tidak saja positifnya rezim Orde Baru, juga negatifnya, agar para pemimpin dan seluruh bangsa Indonesia hari ini dan di masa depan mengambil pelajaran supaya tidak mengulangi “kesalahan serupa”.

Ini sangat penting karena sejarah selalu berulang kembali, jika tidak dijadikan sebagai guru kehidupan yang memandu dan memberi arah dalam kehidupan setiap pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Melawan lupa

Kemarin tanggal 21 Januari 2016, saya menulis di kompasiana dengan tajuk “Hari yang Amat Mendebarkan dan Mencekam dalam Hidup Saya”.

Tulisan tersebut cukup banyak yang membaca. Saya memberi apresiasi yang tinggi kepada teman-teman yang meluangkan waktu untuk membacanya, moga-moga memberi informasi dan semangat untuk melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan Indonesia yang sudah 70 tahun dengan membangun masyarakat, bangsa dan negara republik Indonesia yang kita cintai.

Sejarah aktivis dewan mahasiswa/senat mahasiswa dan para pimpinan organisasi kemahasiswaan dan pemuda, tidak banyak dibicarakan dan ditulis para sejarawan.

Setidaknya ada lima yang alasan mendasari, sejarah angkatan 77/78 tidak banyak dibicarakan publik Indonesia. Pertama, tidak membawa perubahan politik seperti pergantian rezim dari Orde Lama ke rezim Orde Baru yang dilakukan angkatan 66.

Kedua, tidak ada tokoh sentral dari angkatan 77/78 yang berdiri di garda terdepan sepanjang masa untuk menyuarakan perlawanan terhadap rezim Orde Baru kecuali Rizal Ramli.

Ketiga, rezim Orde Baru sangat kuat. Presiden Soeharto yang memimpin rezim Orde Baru, sudah turun dari tahta kekuasaan, tetapi kekuatan Orde Baru masih sangat berpengaruh dan mencengkram.

Keempat, para aktivis angkatan 77/78 berhasil dibonzai dengan di blacklist, dipinggirkan, dimarjinalisasi dan dibuat tidak berdaya dalam segala lapangan kehidupan. Ketika terjadi reformasi, yang tampil mengambil peran adalah kaum pemodal, yang dibesarkan rezim Orde Baru.

Kelima, mereka yang masuk ke dalam pusaran kekuasaan dari angkatan 77/78 hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka juga tidak membawakan suara angkatan 77/78, dan lebih parah lagi rakyat tidak mendapat apa-apa dari mereka yang berkuasa, sehingga angkatan 77/78 kehilangan dukungan dari sesama aktivis angkatan 77/78 dan rakyat Indonesia.

Kekejaman Rezim Orde Baru

Tiga puluh delapan tahun lalu, tepatnya tanggal 21 Januari 1978 adalah hari yang amat bersejarah dalam kehidupan dunia kemahasiswaan di Indonesia, karena rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu mengambil tindakan yang saya sebut sebagai “kekejaman”.

Pertama, menangkap dan memenjarakan seluruh pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa seluruh Indonesia. Berbulan-bulan lamanya mereka ditahan, dan mayoritas diantara mereka tidak diadili.

Kedua, mem black list (daftar hitam) seluruh pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa, sehingga tidak bisa keluar negeri, menjadi pegawai negeri sipil (PNS), pegawai BUMN, tentara dan menjadi apapun yang terkait dengan institusi pemerintah.

Ketiga, membubarkan lembaga demokrasi di kampus yaitu dewan mahasiswa/senat mahasiswa yang dibentuk secara demokratis oleh mahasiswa di setiap kampus perguruan tinggi negeri dan swasta.

Keempat, membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) dan melakukan tindakan otoriter dengan menggunakan ABRI untuk mewujudkan Nornalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Kelima, mengerahkan kekuatan militer (ABRI) masuk kampus untuk membubarkan demo mahasiswa yang kritis dan beroposisi terhadap rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.

Kekejeman itu tidak hanya melawan demokrasi yang dibangun di berbagai kampus perguruan tinggi negeri dan swasta, tetapi menghancurkan bibit-bibit calon pemimpin Indonesia di seluruh strata sosial yang lahir dan dilatih dari dunia perguruann tinggi.

Di DKI Jakarta, seluruh pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta serta pimoinan ormas kemahasiswaan, ditangkap dan dijebloskan dalam penjara, yaitu asrama ABRI di Tajimelela Bekasi, Jawa Barat, yang didinding seng lalu dicat kuning menjadi tempat tahanan para pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa serta pimpinan ormas kemahasiswaan serta beberapa tokoh yang dituduh mendalangi gerakan mahasiswa.

Tempat penahanan para pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa, pimpinan Ormas kemahasiswaan dan pemuda serta tokoh-tokoh terkemuka yang dituduh mendalangi gerakan mahasiswa dewan mahasiswa/senat mahasiswa tersebut kemudian disebut sebagai “kampus kuning”, yang sampai sekarang menjadi simbol perjuangan dan perlawanan aktivis 77/78 terhadap rezim Orde Baru.

Semoga kekejaman rezim Orde Baru yang dikemukakan diatas tidak diulangi oleh siapapun yang berkuasa.  Moga-moga tulisan ini memberi sumbangsih untuk mencegah terulangnya sejarah kelam seperti yang dilakukan rezim Orde Baru.

Allahu a'lam bisshawab 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun