Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Diskriminasi Pendidikan Anak-anak Rakyat Jelata

5 Januari 2016   08:08 Diperbarui: 5 Januari 2016   15:19 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Deskripsi rakyat jelata menurut kamusbesar.com adalah rakyat biasa (bukan bangsawan, bukan hartawan), orang kebanyakan.
Sedang sinonim dari rakyat jelata menurut Tesaurus Bahasa Indonesia ialah kaum kromo, kaum marhaen, kaum murba, kaum rendah, kaum bawahan, rakyat biasa, rakyat gembel, rakyat kebanyakan, rakyat marhaen, rakyat murba.

Saya terinspirasi menulis pendidikan rakyat jelata, pertama, refleksi akhir tahun Lembaga Ekonomi LIPI yang mengemukakan bahwa 75 persen tenaga kerja Indonesia (TKI) hanya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD), dengan lebih dari 90 persen berkategori tidak memiliki ketrampilan khusus (Republika, 30 Desember 2015).

Kedua, ceramah Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada saat buka puasa bersama Majelis Nasional Kahmi di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan tahun lalu bahwa 76 persen pendidikan rakyat Indonesia tamat sekolah menengah pertama (SMP) dan tidak tamat sekolah dasar (SD).

Dari informasi tersebut dapat dimaknai. Pertama, pendidikan sebagian besar rakyat Indonesia masih rendah. Mereka itu adalah rakyat jelata, rakyat kebanyakan, rakyat marhaen, rakyat gembel.

Kedua, kita belum berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan rakyat jelata belum mengalami perubahan sesuai amanat pembukaan UUD 1945.

Ketiga, pembangunan selama 32 tahun di era Orde Baru dan 17 tahun di era Orde Reformasi, belum berhasil mengubah peta sosiologis rakyat jelata dari kurang pendidikan menjadi berpendidikan, sehingga masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia bagaikan menggantang asap di udara.

Diskriminasi Rakyat Jelata

Para pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa untuk membawa kemajuan seluruh rakyat Indonesia, kuncinya pada pendidikan. Kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa menurut saya bahwa seluruh rakyat Indonesia harus dibuat cerdas. Tidak boleh ada yang tidak cerdas.

Tugas negara, siapapun yang memegang kekuasaan, berkewajiban mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Kunci untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia ialah melalui pendidikan. Tidak mungkin ada yang cerdas tanpa mengikuti pendidikan formal atau informal.

Negara memberi keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperolah pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan dapat ditempuh melalui pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar (SD) sampai universitas atau perguruan tinggi.

Selain itu, pencerdasan kehidupan bangsa dapat pula dilakukan melalui home schooling atau pendidikan ketrampilan dalam rangka memberi skill (kepakaran) seperti kursus di balai pendidikan ketrampilan.
Akan tetapi, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, rakyat jelata masih mengalami didiskriminasi dalam pendidikan. Buktinya, untuk masuk sekolah menengah pertama (SMP) Negeri, anak didik harus mempunyai NEM yang tinggi. Anak-anak rakyat jelata pasti kalah bersaing dengan anak-anak dari kalangan menengah-atas. Mereka sejak lahir sudah kurang gizi, tempat tinggal tidak layak, orang tua tidak mampu membayar biaya kursus seperti anak-anak dari kalangan masyarakat menengah dan atas.

Yang memprihatinkan dan menyedihkan, lembaga pendidikan yang dibiayai oleh negara, tanpa disadari hanya melayani anak-anak dari kalangan menengah dan atas. Diskriminasi pendidikan sudah terjadi sejak di sekolah menengah pertama (SMP) sampai di universitas.

Di universitas negeri dan swasta, yang diberi belajar adalah yang lulus seleksi, mayoritas yang lulus seleksi adalah dari anak-anak dari kalangan masyarakat menengah – atas. Begitu pula yang mendapat beasiswa dari pemerintah dan swasta adalah mereka mempunyai nilai (IPK-Indeks Prestasi Kumulatik) yang tinggi.

Pada jenjang pendidikan di Strata 2 (Master) dan strata 3 (Doktor), mereka yang diberi beasiswa adalah mahasiswa yang cerdas luar biasa, menguasai bahasa asing dengan TOEFL IBT 550.

Akibat diskrimasi pendidikan yang diciptakan oleh system dari mereka yang berkuasa, maka di negeri ini yang mempunyai masa depan untuk maju dalam segala lapangan kehidupan, hanya anak-anak dari kalangan masyarakat menengah – atas.
Anak-anak rakyat jelata, seolah sudah ditakdirkan menjadi rakyat jelata karena orang tua mereka rakyat jelata.

Selagi diskriminasi pendidikan masih berlanjut, maka pendidikan anak-anak rakyat jelata akan seperti yang dikemukakan para peneliti LIPI dan Anies Baswedan. Malangnya mereka adalah mayoritas dari penduduk di negeri ini. Jika dibiarkan dan tidak ada perubahan system yang mendasar dan menyeluruh untuk mewujudkan education for all, maka pembangunan hanya akan terus dinikmati kalangan menengah – atas, rakyat jelata tetap gembel.

Allahu a’lam bisshawab

 

Sumber gambar: merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun