Oleh karena itu, saya bisa memahami curahan hati mayoritas publik yang mempersoalkan representasi dan proporsionalitas pimpinan KPK yang baru.
Mengapa Mereka Abaikan Aspirasi Rakyat?
Sejatinya Komisi III DPR memperhatikan suara rakyat, yang pada umumnya silent majority. Pertanyaannya, mengapa suara dan aspirasi mayoritas rakyat diabaikan? Tidak mudah menguak alasan para anggota Komisi III DPR yang terhormat memilih pimpinan KPK yang baru.
Saya menduga, paling tidak ada tiga alasan yang melatar-belakangi mereka memilih pimpinan KPK yang baru seperti dikemukakan di atas.
Pertama, anggota DPR mengalami trauma selalu dibidik oleh KPK sebagai pelaku korupsi. Untuk mencegah terulangnya hal tersebut, maka mereka memilih yang diharapkan tidak berprilaku seperti Antasari Azhar Cs, dan Abraham Samad Cs yang menjadikan anggota DPR sebagai sasaran utama pemberantasan korupsi.
Kedua, anggota DPR menginginkan pimpinan baru KPK memberi support (dukungan) revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini dilakukan karena penulis dan para penggiat anti korupsi menolak keras adanya revisi UU KPK yang dikhawatirkan sebagai entry point (pintu masuk) untuk memperlemah dan bahkan membubarkan KPK seperti yang dialami KPKPN.
Ketiga, anggota Komisi III DPR banyak yang berpandangan bahwa KPK di masa depan harus lebih fokus pada pencegahan korupsi ketimbang penindakan, karena realitas menunjukkan bahwa korupsi belum berkurang seiring dengan gencarnya penindakan korupsi yang dilakukan KPK. Padahal keberadaan KPK sesuai dengan namanya adalah untuk menghentikan KKN yang dapat dimaknai pentingnyab penindakan korupsi, karena isu sentral mahasiswa Indonesia tahun 1998 untuk memaksa Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden RI adalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang akhirnya lahir Orde Reformasi.
Oleh karena itu, kalau para anggota Komisi III DPR memilih pimpinan KPK baru yang dianggap tidak representatif dan proporsionalitas, lebih banyak dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut.
Harapannya saya menduga supaya pimpinan KPK yang baru agak jinak dan tidak menjadikan anggota DPR sebagai sasaran penyadapan dan penangkapan ketika melakukan KKN.
Akhirnya, mau tidak mau dan suka tidak suka, rakyat harus menerima hasil pemilihan pimpinan KPK yang tidak aspiratif, tidak proporsional dan mengabaikan suara mayoritas rakyat.
Semoga menjadi pelajaran bagi rakyat, para anggota DPR yang sedang memegang amanat sebagai wakil rakyat dan seluruh pemimpin di pemerintahan untuk selalu memperhatikan suara dan aspirasi rakyat dalam mengambil setiap keputusan.
Â