Kelima, separatisme. Permasalahan terbesar yang dihadapi di Tolikara dan Papua ialah adanya agenda memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masalah ini tidak kunjung selesai karena pihak asing turut bermain untuk mendorong Papua merdeka seperti Timor Timur.
Dengan demikian, konflik Tolikara merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat yang selama ini terpendam akibat pendekatan represif.
Motif Konflik
Kalau belajar dari konflik Aceh, dan konflik Papua, yang keduanya merupakan konflik vertikal. Begitu pula konflik Ambon, konflik Poso dan konflik lainnya di Indonesia, yang pada umumnya merupakan konflik horizontal, saya yakin bahwa konflik Tolikara dipicu tiga faktor.
Pertama, motif ekonomi. Hampir semua konflik di Indonesia baik konflik vertikal maupun konflik horizontal, penyebab utamanya adalah faktor ekonomi. Oleh karena itu, saya berkeyakinan bahwa konflik Tolikara, pemicu utamanya adalah faktor sosial ekonomi. Dalam realitas sosial ekonomi, pendatang dimanapun selalu lebih maju tingkat kehidupan ekonomi mereka ketimbang penduduk asli. Kesenjangan sosial ekonomi tersebut, saya menduga keras menjadi pemicu konflik di Tolikara.
Kedua, ketidakadilan dalam berbagai bidang. Di negeri kita masih banyak ketidakadilan. Rakyat jelata yang pada umumnya kurang pendidikan dan miskin, menjadi sasaran empuk dari praktik ketidakadilan. Saya yakin seyakin-yakinnya, masyarakat Tolikara juga merasakan ketidakadilan. Misalnya Papua luar biasanya kekayaan alamnya, tetapi masyarakatnya masih bodoh, miskin dan terkebelakang. Kondisi demikian mudah dieksploitasi untuk marah dan mengamuk. Salah satu bentuknya menyerang kaum Muslim yang sedang shalat Idul Fitri di Tolikara.
Ketiga, separatisme. Sudah bukan rahasia umum bahwa oknum-oknum pemimpin agama di Papua bukan saja mendukung separatisme, tetapi berdasarkan pengalaman saya sewaktu menjadi anggota parlemen di awal Orde Reformasi, saya menduga mereka menjadi prime mover untuk mewujudkan separatisme di Papua.
Upaya separatisme terus berkobar karena mendapat dukungan dari pihak asing yang ingin menguasai Papua yang kekayaan alamnya luar biasa dengan cara memerdekan Papua.
Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa konflik di Tolikara pemicu utamanya bukan faktor agama tetapi faktor separatisme, yang ingin memisahkan Papua dari negara kesatuan republik Indonesia dengan mengobarkan konflik agama sebagai strategi untuk menarik dukungan internasional jika umat Islam yang diserang di Tolikara mendapat simpati dan bantuan dari saudara-saudara mereka di daerah lain dan melakukan balas dendam terhadap umat Nasrani di Papua dan daerah lain di Indonesia.
Solusi
Konflik Tolikara harus diungkap secara tuntas motifnya dan siapa aktor intelektualnya. Mereka yang terlibat dalam konflik Tolikara dan menjadi aktor intelektualnya harus diseret ke meja hijau untuk dimintai pertanggungjawaban.
Adapun solusi yang ditawarkan untuk mengakhiri secara permanen konflik Tolikara dan konflik lainnya di Papua.
Pertama, meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan anak-anak Tolikara dan anak-anak Papua, tidak hanya memberikan kognitif (kecerdasan) kepada anak didik, tetapi sangat penting menanamkan dan menumbuhkan afektif kepada anak didik supaya cinta Indonesia, cinta tanah air, cinta persatuan dan kesatuan, disiplin dan bertanggungjawab. Untuk mewujudkan hal itu, sangat diperlukan pengiriman tenaga guru sukarela untuk ditugaskan di Tolikara dan Papua serta daerah-daerah lain diperbatasan Indonesia.