Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Musni Umar: Mahalnya Jadi Caleg dan Demokrasi Warung

18 Februari 2014   14:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 16 Februari 2014, saya menghadiri pesta perkawinan putera Soekotjo Soeparto, mantan Anggota Komisioner Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia, juga aktivis Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa 77/78 dan mantan Wakil Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, serta caleg (calon legislatif) di salah satu daerah pemilihan (dapil) di Jawa Timur dariPartai Hanura.

Dalam pesta itu banyak dihadiri para tokoh seperti Akbar Tandjung (Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar), Hamdan Zoelva (Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Drs. Suryadi (mantan Ketua Umum PDI), Mayjen TNI Purn. Eddie M. Nalapraya, Hariman Siregar (aktivis Malari), Lukman Hakim(Kepala LIPI, mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI), Indro Tjahyono (aktivis Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa dari ITB dan lain-lain.

Saya banyak terlibat diskusi dengan para aktivis yang menghadiri pesta ngunduh mantu dari keluarga Soekotjo Soeparto.Salah satu topik yang dibicarakan ialah mahalnya jadi caleg (calon legislatif).

Pemilu dan Caleg Indonesia

Pemilihan Umum (pemilu) adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.Dalam demokrasi, sejatinya yang berkuasa (berdaulat) adalah rakyat. Melalui pemilu, rakyat memilih wakil-wakil mereka yang akan di duduk di parlemen pada semua tingkatan untuk mewakili kepentingan rakyat.

Akan tetapi, proses untuk menjadi caleg tidaklah mudah.Pertama, diseleksi oleh partai politik sebagai pengusung caleg.Kedua, harus membayar ke partai politik untuk menjadi caleg. Ketiga, harus mampu dan sanggup membiayai sendiri kampanye.

Oleh karena proses menjadi caleg harus membayar dan membiayai sendiri kampanye di daerah pemilihannya memerlukan dana yang sangat besar, maka para aktivis pergerakan yang masih rasional dan idealis memilih tidak menjadi caleg.

Namun menurut informasi, banyak caleg yang dibiayai konglomerat untuk bertarung dalam pemilu legislatif.Bahkan, seorang Jendral TNI Purn pernah mengatakan kepada penulis, ada seorang pengusaha di suatu partai politik dan setelah saya teliti termasuk salah satu dari 40 orang terkaya di Indonesia, membiayai para caleg berdasarkan kesamaan agama.

Maka dalam pemilu 2014, para caleg (calon legislatif),  paling tidak terbagi tiga kelompok.Pertama, para anggota parlemen sekarang dan anak atau cucu dari pemilik modal.Kedua, pengurus partai politik dan aktivis pergerakan yang masih idealis.Ketiga, para caleg yang dibiayai konglomerat.

Dari tiga kelompok caleg yang disebutkan diatas, yang berpeluang memenangkan pertarungan dalam pemilu legislatif di Indonesia tahun 2014, ialah para anggota parlemen sekarang, anak dan cucu pemilik modal  dan caleg yang dibiayai konglomerat.

Demokrasi Warung

Seorang caleg dari daerah pemilihan di Sulawesi Tenggara, pernah bercerita kepada penulis tentang mahalnya menjadi caleg sekarang.Sebagai caleg,di dua kantong celana dan kantong baju harus selalu berisi uang. Kantong celana sebelah kanan berisi Rp 50.000, dikantong celana sebelah kiri berisi Rp 35.000, dan kantong baju berisi Rp 25.000.

Kalau melakukan sosialisasi dan kampanye ke masyarakat, tinggal melihat segmen masyarakatnya, kalau tokoh masyarakat, diberi uang rokok sebesar Rp 50 ribu perorang. Jika yang ditemui ibu-ibu, maka setiap orang di beri uang transport Rp 35 ribu, kalau anak-anak muda diberi uang rokok Rp 25 ribu.

Oleh karena di masyarakat berlaku demokrasi warung, maka tidak ada jaminan yang bersangkutan dipilih rakyat dan mendapat tiket duduk di parlemen.

Persoalannya, rakyat mengamalkan demokrasi warung, yaitu rakyat hanya mau memilih yang membeli suaranya paling mahal..Rakyat di berbagai desa dan kota yang mayoritas masih miskin, mengamalkan demokrasi seperti jualan di warung.Barang yang sangat diperlukan hanya dalam satu waktu, dijual dengan sistem pasar bebas.Siapa yang membayar mahal, maka dia yang akan mendapatkan barang.

Analoginya, rakyat jelata hanya akan memilih caleg yang memberi uang paling besar.

Kesimpulan

Setelah kita menjalani demokrasi di era Orde Reformasi melalui pemilu tahun 1999, 2004, 2009 dan insya Allah pada 9 April 2014, di satu sisi kita harus bersyukur karena pergantian kekuasaan berjalan lancar melalui pemilu, tetapi kita patut prihatin karena hasil pemilu melalui demokrasi politik yang menghabiskan dana sangat besar, tidak menghasilkan demokrasi ekonomi yang amat diperlukan rakyat jelata (wong cilik).

Mahalnya jadi caleg dan berlakunya demokrasi warung, harus segera dikoreksi.Ini terjadi karena rakyat masih miskin,  serba kekurangan dan kurang pendidikan.

Dalam pengamalan demokrasi, rakyat sebagai pemilik kekuasaan dalam sistem demokrasi, sampai sekarang tidak mendapat apa-apa dari hasil pelaksanaan pemilu.

Oleh karena itu, semua harus sadar dan bergerak untuk melakukan perubahan. Para cerdik pandai, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, ulama, pendeta, pastor, media dan aktivis pergerakan, dan LSM,  saatnya bersatu mencerahkan, menyadarkan dan mencerdaskan rakyat untuk bangkit melakukan perubahan dengan memilih caleg yang masih idealis dan memilih Presiden RI untuk mewujudkan perubahan besar di negeri yang kita cintai ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun