Setidaknya sudah dua menteri agama yang tersandung korupsi haji yaitu Said Aqil Al Munawwar (SAA) dan Surya Darma Ali (SDA). Kasus yang menimpa SDA, semoga yang terakhir.
Untuk mengakhiri korupsi di kementerian agama tidaklah mudah. Pertama, kuatnya tarikan kepentingan partai politik yang menempatkan kadernya menjadi menteri agama untuk memberi konstribusi dana kepada partainya.
Kedua, kepentingan dari ormas pendukung dan asal menteri agama, yang harus memberi bantuan dana untuk kegiatan operasional.
Ketiga, tarikan pengusaha yang ingin menjadi mitra kementerian agama dalam pengadaan berbagai keperluan haji, yang pada umumnya memberi suap untuk mendapat peluang berpartisipasi dalam proyek pengadaan keperluan haji.
Keempat, pihak perbankan yang ingin menggait dana haji yang sangat besar jumlahnya supaya menempatkan dana haji ke bank yang dipimpinnya. Penempatan dana haji ke bank, pada umumnya tidak gratis, ada kompensasinya success fee.
Kelima, partai penguasa dan kader-kadernya ingin mendapat manfaat ekonomi dari menteri agama, sehingga korupsi sulit diakhiri di kementerian agama.
Komisi Pengawas Haji
Selain lima hal yang disebutkan diatas, masih ada persoalan besar yang dihadapi yaitu para anggota parlemen yang membidangi urusan agama termasuk urusan haji dan umroh yang juga ingin mendapat bagian dari kegiatan haji dan puluhan triliun uang haji di kementerian agama.
Persoalan lain, yang bersifat internal ialah sumber daya di internal direktoral jenderal haji dan umroh yang tidak "the right man on the right place". Menurut Anggita Abimayu, ketika menjadi narasumber di ILC TV ONE beberapa waktu lalu, bahwa hampir 100 persen, pegawai Ditjen haji dan Umroh adalah sarjana agama (S. Ag). Pada hal yang diperlukan adalah para akuntan.
Dengan demikian, keberadaan komisi pengawas haji, tidak akan terlalu efektif dalam mencegah berlanjutnya korupsi di kementerian agama, karena kementerian itu menghadapi persoalan internal dan eksternal yang tidak mudah mencegah berlanjutnya korupsi.
Apa yang Harus Dilakukan?