Kampanye negatif terhadap Prabowo cukup banyak, tetapi tidak ada kampanye hitam berupa fitnah seperti yang dialami Jokowi. Penggiat HAM yang menolak Prabowo menjadi presiden RI, yang sejak lama berjuang supaya Prabowo diseret ke meja hijau yang diduga melakukan pelanggaran HAM, menggunakan momentum pemilihan presiden untuk membuka masa lalu Prabowo seperti pemecatannya sebagai anggota TNI dan pelanggaran HAM.
Begitu pula para Jenderal TNI Purnawirawan juga mengemukakan berbagai fakta tentang Prabowo. Kebetulan mereka menjadi pendukung Jokowi-JK dalam pemilihan Presiden.
Pertanyaannya, mengapa fitnah sembilan kali lebih banyak dilakukan pada Jokowi. Pertama, Jokowi tidak ada masa lalunya yang dapat dijadikan kampanye negatif untuk merusak kredibiltasnya, walaupun sebagai manusia biasa tentu ada kelemahan dan kekurangannya.
Kedua, Jokowi pekerja dan memberi bukti. Ada upaya keras untuk menafikan hasil kerja Jokowi, tetapi keterbukaan dan kebebasan informasi, upaya mereka segera terbantahkan.
Ketiga, Jokowi sederhana dan merakyat, diakui masyarakat luas tidak hanya masyarakat Solo dan DKI Jakarta, tetapi juga rakyat Indonesia dari Sabang sampai Mereuke, dari Pulau Miangat sampai pulau Rote. Walaupun lawan politiknya menyebut Jokowi tidak asli, hanya pencitraan.
Keempat, Jokowi adalah kepala keluarga yang baik dan tidak neko-neko, diakui semua orang kecuali lawan politik, yang menganggap Jokowi tidak ada kebaikannya.
Kelima, Jokowi jujur dan bersih, walaupun ada usaha keras untuk menyeret Jokowi ke dalam kasus Trans Jakarta, tetapi tidak bisa karena realitasnya Jokowi tidak pernah berurusan proyek untuk memperkaya diri sendiri apalagi orang lain.
Berdasarkan lima hal diatas, maka rival politik, para pendukung dan relawannya, saya menduga tidak melihat banyak celah untuk melemahkan dan menghancurkan kredibiltas dan elektabilitas Jokowi, kecuali memproduksi sebanyak-banyaknya fitnah terhadap Jokowi.
Harapannya, rakyat yang masih kurang pendidikan dan kurang iman mempercayai berbagai fitnah yang disasarkan ke Jokowi. Mereka tidak perduli firman Allah yang melarang fitnah, tidak penting persatuan dan kesatuan bangsa, demokrasi hanya alat untuk meraih kekuasaan, tidak perlu budaya sopan santun dan tenggang rasa, yang bergelora semangat menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.
Pertanyaannya, di mana Presiden SBY, apa masih ada nurani para pemimpin partai politik, di mana para tokoh pimpinan organisasi Islam dan tokoh agama lain berada, di mana Bawaslu dan para penegak hukum, serta kaum civil society, jangan biarkan negeri ini diisi taburan fitnah untuk meraih kekuasaan.
Wallahu a'lam bisshawab