Kemarin 23 September 2014, saya melintasi 3 (tiga) kawasan di ibukota yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Di berbagai sudut jalan strategis, saya melihat dan membaca spanduk anti pemilukada via DPRD dengan gambar atau photo Isran Noor, ketua asosiasi bupati/walikota seluruh Indonesia.
Setelah melihat begitu banyak spanduk di berbagai sudut jalan strategis di ibukota dan pasti lebih banyak lagi di sekitar gedung DPR/MPR, dapat dikemukakan 5 (lima) hal.
Pertama, penguasa daerah, tidak setuju pemilukada dikembalikan kepada DPRD. Nampaknya mereka yang terpilih menjadi penguasa daerah melalui pemilukada langsung, melihat peluang mereka terpilih kembali menjadi penguasa daerah tidak besar jika melalui DPRD. Oleh karena itu, mereka memilih pemilukada langsung.
Kedua, rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sudah pasti tidak setuju pemilukada melalui DPRD karena kedaulatan mereka dikebiri. Apalagi rakyat bawah yang pada umumnya miskin dan kurang pendidikan telah menjadikan pemilukada langsung sebagai ajang untuk mendapatkan dana. Maka sudah pasti mereka mempertahankan pemilukada langsung.
Ketiga, lembaga peneliti dan survei, dengan berbagai alasan, sudah pasti mendukung dan memperjuangkan pemilukada langsung karena terkait dengan kepentingan.
Keempat, koalisi Merah-Putih, sangat jelas kepentingan mereka, setelah kalah dalam pemilihan Presiden 9 Juli 2014, ingin merebut kekuasaan di daerah, sehingga eksistensi tetap terjaga termasuk sumber pendanaan partai politik.
Kelima, lembaga sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, MAWI, PGI dan lain-lain mungkin lebih netral dan obyektif sehingga patut didengar pandangan mereka. Mereka tidak mempunyai kepentingan langsung apakah pemilukada melalui DPRD atau langsung.
Masing-masing Punya Kepentingan
Mereka yang mendukung pemilukada langsung dan pemilukada melalui DPRD, masing-masing mempunyai kepentingan. Alasannya bisa dibuat seribu satu macam untuk membenarkan pilihannya.
Pertanyaannya, dari dua cara untuk memilih kepala daerah, mana yang lebih menguntungkan bagi kepentingan bangsa dan negara? Kedua belah pihak pasti mengemukakan argumentasi untuk membenarkan pilihannya adalah untuk sebesar-besar kepentingan bangsa dan negara.
Untuk mendapatkan pandangan yang lebih netral dan obyektif, sebaiknya Muhammadiyah, NU dan lain-lain secara kelembagaan mengeluarkan pandangan untuk memandu bangsa ini menghadapi perdebatan panas di parlemen yang melibatkan berbagai kepentingan pragmatis di masyarakat tentang pemilukada langsung atau pemilukada melalui DPRD dalam rangka memberi pencerahan, penyadaran dan pencerdasan.
Kampanye pemilukada langsung sah-sah saja dilakukan sebagai perwujudan dari demokrasi, tetapi suara atau pandangan dari mereka yang tidak mempunyai kepentingan langsung dalam perebutan kekuasaan, sebaiknya mereka mengemukakan pandangan untuk kebaikan bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Menurut saya kedua sistem yang kita amalkan dalam memilih pemimpin di daerah mempunyai kelemahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, lebih baik sistem pemilukada yang sedang dijalankan disempurnakan, dan Mahkamah Konstitusi telah memberi putusan supaya dilakukan pemilu serentak. Ini jalan keluar (way out) yang terbaik untuk menghindari biaya yang terlalu besar dalam pelaksanaan pemilukada, dan mencegah politik uang yang masif dilakukan serta berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dalam pemilukada langsung.
Allahu a'lam bisshawab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI