Sebagai sosiolog saya amat prihatin terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pecah belah. Pada hal PPP adalah partai politik yang besar dan mempunyai dukungan luas di masyarakat. Surya Dharma Ali, mantan Ketua Umum PPP merupakan penyabab utama pecahnya dan hancurnya Partai Persatuan Pembanguna (PPP).
Pertama, pada saat kampanye pemilu legislatif hadir dalam kampanye Gerindra di Gelora Bung Karno (GBK), berpidato dan memberi dukungan pencalonan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI. Pada hal belum pernah dibicarakan di internal PPP. Inilah awal perpecahan PPP karena tidak lazim dalam kampanye pemilihan legislatif seorang Ketua Umum hadir dalam kampanye akbar suatu partai politik dan berpidato karena dapat dimaknai publik sebagai dukungan kepada partai tersebut.
Kedua, Surya Dharma Ali (SDA) sudah ditetapkan menjadi tersangka korupsi haji oleh KPK tidak mengundurkan diri sebagai ketua umum PPP. Sejatinya setelah ditetapkan menjadi tersangka korupsi harus mengundurkan diri karena legitimasinya sudah hancur. Oleh karena SDA tidak mengundurkan diri sebagai ketua umum PPP, maka akhirnya pengurus PPP memecat SDA sebagai ketua umum PPP.
Keterlibatan Pihak Luar
Semakin parah perpecahan di internal PPP karena para elit PPP yang terbelah dua mencari dukungan ke pihak luar untuk memperkuat posisi masing-masing.
Pertama, SDA dan kelompoknya mencari dukungan ke Koalisi Merah Putih untuk memperkuat posisinya. Keterlibatan pihak luar bermula dari kehadiran SDA dalam kampanye pileg partai Gerindra yang kemudian berlanjut dalam pemilihan Presiden RI.
Usai pilpres SDA tetap bersih kukuh di Koalisi Merah Putih. Bukti kuat SDA melibatkan pihak luar dalam kemelut di PPP ialah hadirnya Prabowo Subianto dan para Ketua Umum partai-partai politik dari Koalisi Merah Putih dalam Muktamar PPP versi SDA dan bahkan Prabowo memberi kata sambutan dalam pembukaan muktamar PPP versi SDA di Jakarta.
Dalam sejarah politik di manapun tidak ada ketua umum suatu partai politik hadir daalm muktamar atau munas dan memberi kata sambutan. Yang lazim terjadi, Presiden hadir dalam suatu musyawarah nasional (Munas) atau muktamar dan memberi Kata Sambutan. Pimpinan partai politik biasa diundang dan hadir, tetapi tidak memberi kata sambutan, sebab partai politik lain sejatinya tetap sebagai “musuh” yang harus dikalahkan dalam pemilu legislatif (parlemen).
Kedua, Romahurmuzy, sekjen PPP yang kemudian dipilih secara aklamasi dalam muktamar PPP di Surabaya, juga mencari dukungan ke koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat posisinya sebagai ketua umum PPP. Bukti kuat bahwa Roma mendapat dukungan dari KIH ialah hadirnya para elit partai politik dari koalisi yang mendukung Jokowi-JK, walauoun yang hadir bukan ketua umum partai politik. Bukti lain, kepengurusan Romahurmuzy tekah disahkan Menteri Kehakiman dan HAM RI.
Hilangnya Masa Depan
PPP benar-benar pecah karena memiliki dua ketua umum hasil muktamar di Surabaya dan di Jakarta. Mereka akan berperang di parlemen dan di pengadilan.
Siapapun yang menang dan kalah akan berlaku pepatah “menang jadi arang kalah menjadi abu”. Kedua belah pihak tidak ada yang menang karena akhirnya rakyat sebagai pemilih akan menghukum PPP dengan tidak memilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019.
Makin lama mereka kisruh akan semakin hilang peluang PPP memperoleh dukungan dalam pemilu legislatif 2019.
Oleh karena itu, sebaiknya para elit PPP segera duduk bersama dan bermusyawarah memecahkan masalah yang dihadapi, jika mereka masih mencintai partai tempat mereka bernaung dan mendapat kekuasaan.
Allahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H