Dalam perjalanan menelusuri Pantai Timur, setelah empat jam rodaku menggelinding di aspal yang basah, sebuah pesan pendek menelusup ke handphone.
"Pat posisi?" tanya Fachrul, koordinator liputan yang, "Sore-sore begini ia pasti sedang siaga di kantor redaksi," batinku sembari mengetik pesan balasan yang bunyinya, "Saya baru tiba di Geudong, Lhokseumawe."
Rupanya Fachrul langsung menelepon, "Tolong belok ke Matangkuli ya. Ke rumah Cut Meutia. Ambil beberapa foto dan sekelumit cerita dari situ."
"Aku akan ke makamnya sekalian," jawabku menantang.
"Gila! Sore begini, mana mungkin. Kamu pikir makam Cut Meutia itu di mana?"
"Di pucók Krueng Peutoe, di tengah rimba belantara, bukan?"
"Jadi mana mungkin sesore ini kamu ke sana?" ucap Fachrul dengan nada sedikit prihatin mengingat aku memang mereka bilang sebagai orang dengan gerakan yang kadang-kadang bikin was-was.
"Nanti malam saya akan menginap di rumah keuchik. Besok pagi akan saya minta bantu satu-dua lelaki untuk menemani saya ke hutan kasak-kaséék itu."
"Ok, thank's. Kamu memang wartawan gila," seloroh Fachrul, tentu dengan hati ringan.
"Kamu juga 'korlip' pungo!" balasku.
Setelah singgah sekejap di warung kopi keudee Matangkuli menunggu hujan benar-benar reda di sore itu, roda sepedamotorku menggelinding lagi menelusuri jalan desa yang beraspal licin, jalan yang tentu dibangun oleh perusahaan pengeboran minyak yang sudah puluhan tahun menyedot cairan berharga dari perut bumi kawasan ini.