Mohon tunggu...
Ahd Zulfikri Nasution
Ahd Zulfikri Nasution Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Politik

Manusia Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jalan Menuju Tuhan Sebanyak Jiwa Manusia di Bumi

3 Desember 2024   22:46 Diperbarui: 3 Desember 2024   22:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jogja, 03 November 2019

Hidup sering kali diibaratkan sebagai sebuah perjalanan dengan berbagai cabang jalan yang memaksa kita untuk memilih. Pilihan ini tidak selalu mudah. Kadang kita merasa takut salah langkah, khawatir akan konsekuensi dari keputusan yang diambil. Namun, jika kita merenung lebih dalam, yang sebenarnya memberikan makna dalam hidup bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga perjalanan itu sendiri---jalan-jalan yang ditempuh, pengalaman yang dirasa, serta makna yang ditemukan.

"Banyak jalan, banyak dirasa" adalah ungkapan sederhana, namun memiliki makna filosofis yang mendalam. Dalam setiap jalan yang kita pilih, ada rasa yang berbeda---kadang manis, kadang pahit, dan kadang justru campuran keduanya. Bagaimana kita memaknai rasa-rasa itu adalah apa yang membentuk siapa diri kita sebenarnya.

Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas, tetapi kebebasan itu membawa beban tanggung jawab. Saat berdiri di persimpangan jalan, kita bebas memilih arah mana yang ingin ditempuh. Namun, pilihan itu membawa konsekuensi yang harus kita tanggung. Tidak ada jalan yang benar-benar sempurna, dan tidak ada keputusan yang tanpa risiko.

Misalnya, ketika seseorang memilih jalan karier tertentu, ia mungkin merasa puas dengan pencapaiannya, tetapi di sisi lain, ia mungkin kehilangan waktu berharga bersama keluarga. Di sinilah filsafat mengajarkan kita untuk menerima kenyataan bahwa setiap pilihan adalah bagian dari diri kita. Sartre menyebutnya sebagai "man is condemned to be free", di mana kebebasan kita justru menjadi beban, karena kita harus bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil.

Setiap jalan yang kita tempuh membawa rasa yang unik. Pengalaman ini, baik suka maupun duka, membentuk pandangan kita terhadap dunia. Dalam filsafat Timur, terutama ajaran Taoisme, pengalaman hidup sering kali dipandang sebagai sesuatu yang mengalir alami, seperti air yang mengikuti aliran sungai. Lao Tzu mengajarkan bahwa bahkan jalan yang penuh rintangan sekalipun memiliki hikmah yang bisa kita pelajari.

Rasa sakit mengajarkan kita untuk bertahan. Rasa gembira mengingatkan kita akan nikmat kehidupan. Bahkan rasa bingung dan ragu bisa menjadi titik awal dari pemahaman yang lebih dalam. Dalam setiap rasa, ada pelajaran tersembunyi yang membantu kita tumbuh menjadi manusia yang lebih bijaksana.

Dalam mengejar tujuan hidup, sering kali kita lupa untuk menikmati proses perjalanan. Kita terlalu fokus pada hasil akhir---entah itu keberhasilan materi, pengakuan sosial, atau tujuan-tujuan besar lainnya---sehingga melupakan momen-momen kecil yang sebenarnya lebih berarti.

Filsuf Yunani Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan, atau yang ia sebut eudaimonia, bukanlah sesuatu yang ditemukan di akhir perjalanan. Sebaliknya, kebahagiaan adalah cara hidup yang dijalani dengan baik, di mana setiap langkah memiliki nilai intrinsik. Jalan menuju tujuan bukanlah sesuatu yang harus dilalui dengan tergesa-gesa; ia adalah bagian dari seni hidup yang harus dinikmati dan dimaknai.

Ungkapan "Banyak Jalan, Banyak Dirasa" juga mengajarkan kita untuk memahami bahwa setiap orang memiliki jalannya sendiri. Tidak ada satu jalan yang lebih benar daripada yang lain, karena setiap perjalanan adalah unik. Filsuf Persia, Jalaluddin Rumi, pernah berkata, "Jalan menuju Tuhan sebanyak jiwa manusia di muka bumi ini."

Pandangan ini mengingatkan kita untuk tidak menghakimi jalan hidup orang lain. Apa yang dirasa benar untuk seseorang, belum tentu berlaku untuk orang lain. Kita semua memiliki peta perjalanan yang berbeda, dan apa yang kita pelajari di sepanjang jalan juga akan berbeda. Yang penting adalah bagaimana kita memaknai perjalanan itu dan bagaimana kita menghormati perjalanan orang lain.

Pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang memilih jalan, tetapi juga tentang belajar dari rasa-rasa yang kita alami di sepanjang perjalanan. Rasa sakit, kegembiraan, kebingungan, hingga rasa syukur adalah bagian dari dinamika kehidupan. Setiap rasa itu memberikan warna pada hidup kita, menjadikannya penuh makna dan pembelajaran.

Filsafat mengajarkan kita untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak ada jalan yang selalu mulus, dan tidak ada rasa yang selalu menyenangkan. Tetapi, itulah hidup. Kita hanya perlu terus melangkah, membuka diri terhadap rasa yang datang, dan menemukan pelajaran di setiap momen.

Ketika kita menyadari bahwa hidup adalah perjalanan, bukan hanya tujuan, kita akan lebih mampu menghargai setiap langkah yang diambil. Banyak jalan yang bisa ditempuh, dan banyak rasa yang akan dirasakan. Jangan takut salah langkah, karena apa pun jalan yang dipilih, setiap rasa yang dialami adalah bagian dari perjalanan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang diri kita dan kehidupan.

Seperti pepatah bijak mengatakan, "Life is a journey, not a destination." Maka, nikmatilah perjalanan itu, dan biarkan setiap rasa menjadi guru yang membimbing kita ke arah yang lebih baik.

Jogja, 03 November 2019

Ahd Zulfikri Nasution

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun