Mohon tunggu...
muslimahsiti
muslimahsiti Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga

Hobi membaca,menulis,memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelita yang Meredup

20 November 2024   06:00 Diperbarui: 20 November 2024   06:01 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pelita yang Meredup"

Di sebuah rumah kecil di sudut desa, tinggal sepasang suami istri, Amir dan Siti. Rumah mereka sederhana, tetapi hangat dengan tawa anak-anak mereka. Namun, beberapa bulan terakhir, rumah itu terasa hampa. Amir lebih sering pulang larut malam, sementara Siti sibuk mengurus keempat anak mereka sendirian.

Di sudut kamar, Siti duduk termenung. Tangannya memegang lembaran tagihan yang belum terbayar. Hatinya terasa berat, tetapi ia tetap berusaha menyembunyikan keresahannya. Sebagai seorang istri, ia ingin menjadi penyejuk hati suaminya, meski ada sesuatu yang terus mengganjal di benaknya.

Amir masuk ke rumah dengan langkah berat. Wajahnya lelah, matanya redup. Siti menyambutnya dengan senyuman tipis.

"Mas, sudah makan? Mau Siti siapkan teh hangat?" tanyanya lembut.

Amir hanya mengangguk, lalu duduk di kursi ruang tamu. Ia menghela napas panjang.

"Siti, aku minta maaf. Akhir-akhir ini aku sibuk dan... sepertinya, aku bukan suami yang baik," ucap Amir pelan.

Siti tertegun. Ia mendekat, duduk di samping suaminya. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Kita bisa hadapi bersama."

Amir menatap Siti, matanya berkaca-kaca. "Aku gagal. Pekerjaan di proyek sudah selesai, dan aku belum menemukan pekerjaan lain. Aku tidak ingin kamu dan anak-anak tahu, tapi... aku merasa tidak berguna."

Siti menggenggam tangan suaminya erat. "Mas, jangan berkata begitu. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Rezeki itu datang dari Allah. Kita hanya perlu sabar dan terus berusaha."

Amir terdiam, hatinya mulai terasa ringan. Selama ini, ia terlalu larut dalam kesedihan dan lupa bahwa Siti adalah pendukung terbesarnya.

Hari-hari berikutnya, Siti dan Amir mulai memperbaiki komunikasi mereka. Siti membantu Amir mencari pekerjaan dengan mendukungnya dari rumah. Amir juga mulai lebih melibatkan diri di rumah, membantu anak-anak belajar dan bermain.

Meskipun perjuangan mereka belum selesai, rumah kecil itu kembali dipenuhi tawa dan canda. Siti dan Amir menyadari, rumah tangga bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang bagaimana mereka tetap bersama menghadapi badai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun