Mafia Dingin Itu Ternyata Baik Hati
Hari-hari berlalu dengan kehadiran Reyhan yang semakin sering. Ia seperti bayangan yang tak terlihat oleh orang lain, namun selalu muncul di saat-saat genting dalam hidupku. Misalnya, ketika aku hampir kehilangan pekerjaanku karena difitnah rekan kantor, Reyhan tiba-tiba datang ke ruang direktur dan menyelesaikan semuanya tanpa aku tahu bagaimana caranya.
"Aku tidak ingin berutang lebih banyak padamu," protesku suatu hari.
Dia hanya menatapku dingin seperti biasa. "Utang? Aku tidak butuh apa pun darimu."
Namun, sikapnya yang dingin justru membuatku semakin penasaran. Apa sebenarnya yang ia sembunyikan di balik wajah tanpa emosi itu?
Suatu malam, aku memutuskan untuk mengikutinya. Dengan hati-hati, aku membuntutinya hingga ia tiba di sebuah panti asuhan kecil di pinggir kota. Aku bersembunyi di balik tembok, mengintip Reyhan yang sedang berbicara dengan seorang wanita tua berjilbab.
"Aku sudah transfer dananya. Pastikan anak-anak mendapatkan makanan yang cukup dan buku-buku sekolah mereka."
Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Reyhan. Anda selalu menjadi malaikat bagi kami."
Malaikat? Reyhan? Dua kata yang terasa aneh dalam satu kalimat.
Aku tak sengaja menginjak ranting kering, membuat suara yang menarik perhatiannya. Dalam sekejap, Reyhan menoleh ke arahku. Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan.
"Keluar."