Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal baik dari sisi masyarakat maupun pemerintahan. Khususnya pemerintah yang harus mengatasi pandemi ini pun juga melayani masyarakat agar tetap terjaga.
Maka 12 Mei 2020 lalu DPR RI mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Pikiran Rakyat, 15/5).
Namun keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang terdiri dari 6 bab hampir semuanya membahas persoalan ekonomi semata. Nyaris tidak ada 1 bab yang membahas penanganan pandemi Covid-19, meskipun judulnya disebutkan untuk penanganan Covid-19.
Terlebih lagi pasal 27 dari Perppu tersebut dianggap berbahaya karena dinilai membuka celah untuk korupsi pada ayat 1. Di mana pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar 405, 1 triliun. Kemudian pada ayat 2 dan 3 memberi kekebalan hukum pada pejabat yang memiliki wewenang (Kompas, 28/4).
Sementara itu pada waktu yang berbeda Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan adanya krisis Covid-19 harus dapat dimanfaatkan untuk reformasi di berbagai bidang. Upaya pemulihan dan reformasi bidang kesehatan, sosial, ekonomi harus dimulai bersama dengan penanganan pandemi dan diperkirakan berlangsung hingga 2021 (Tempo, 12/5).
Ternyata muatan materi PERPPU 1/2020 terdiri dari enam bab yang hampir semuanya berbicara mengenai persoalan ekonomi semata. Nyaris tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 atau corona meskipun judulnya dikait-kaitkan dengan menyebarnya wabah corona. Pertama, tentang sumber pendanaan untuk mengatasi Pandemik Covid-19. Kedua, tentang immunitas/kekebalan hukum dari penyelenggara pemerintahan terkait keuangan negara. Ketiga, Perppu No.1 Tahun 2020 memungkinkan masuknya fund manager asing.
Lain halnya dengan Islam, negara dalam Sistem Pemerintahan Islam akan mengarahkan kebijakannya untuk kemaslahatan umat. Para penguasa senantiasa mengurusi kebutuhan umat tanpa memandang strata sosial dan tentunya keselamatan adalah yang utama jauh dibandingkan dengan keselamatan ekonomi. Keberadaan penguasa semata untuk mengurusi kebutuhan umat, tak memandang apakah dia kaya ataupun miskin, bermanfaat ataukah tidak. Karena setiap individu telah dijamin keberlangsungan jiwanya. Keselamatan nyawa adalah yang utama, jauh dibandingkan dengan keselamatan ekonomi.
Untuk problem ekonomi yang saat ini hampir di ambang resesi akibat wabah corona. Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda,
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak peduli kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan peduli kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Keteladanan kepemimpinan sebagaimana gambaran dalam hadis di atas, di antaranya terjadi ketika Umar bin Khaththab ra menjadi khalifah, pada peristiwa krisis ekonomi yang dikenal dengan Tahun Kelabu di Madinah saat itu, Khalifah Umar langsung bertindak cepat.