Mohon tunggu...
Muslimah Beraksi
Muslimah Beraksi Mohon Tunggu... -

Berjuang bersama tegakkan khilafah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Upaya Membendung Arus Pragmatis Pendidikan

1 Mei 2014   21:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan Kita : Mahal dan Gagal

Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia menurun. Jika tahun lalu Indonesia berada di peringkat ke-65, tahun ini merosot di peringkat ke-69. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Sayangnya, perhatian pemerintah masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, dan biaya pendidikan yang mahal.

Pendidikan di Indonesia masih perlu dipertanyakan. Setumpuk problematika masalah klasik pendidikan ternyata tidak lagi hanya menyentuh ranah aksara mengeja, menghitung, bagaimana mengajarkan pengetahuan kepada , namun permasalahan tersebut kian hari kian kompleks. Baru-baru ini kita dengar kasus kejahatan seksual yang menimpa seorang murid TK di Jakarta International School (JIS). Kitapun sempat dikejutkan oleh pengakuan walikota Surabaya terkait PSK yang berusia 60 tahun ternyata pelanggannya adalah anak SD dan SMP. masih hangat ditelinga kita kasus mucikari SMP Surabaya yang telah menjual 1000 temannya. Belum lagi kasus seks bebas dikalangan pelajar dan mahasiswa, kasus Narkoba, tauran, masalah contek-mencontek saat Ujian Nasional. Di saat moral pejabat-pejabat kita yang banyak terkena kasus Korupsi, ternyata generasi muda kita moralnya juga sangat memprihatinkan.

Tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia memang disebutkan di dalam UU Sisdiknas. Namun kalimat itu hanya semacam pemanis, sebab rincian sistem dan prakteknya justru jauh dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Bagaimana akan mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa, sementara pelajaran agama sangat sedikit dan itupun diajarkan sekadar sebagai ilmu yang jauh dari amaliyah praktis. Bagaimana membentuk manusia berkarakter dan berakhlak mulia, sementara ketentuan halal-haram dan masalah akhlak justru tidak mendapat perhatian.

Carut marut pendidikan kita ternyata sejak dari visi, misi, tujuan, kurikulum , metode sampai pada evaluasi pendidikan.  Bahkan tidak hanya tataran konsep, tapi hal yang teknis pun demikian. Kisruh Ujian Nasional (UN) yang baru-baru ini terjadi merupakan bukti nyata atas semua kondisi memprihatinkan tersebut. Sistem pendidikan Indonesia belum memiliki visi yang jelas, seajuh ini Indonesia hanya mengikut arus Internasional, hal ini menyebabkan Indonesia hanya akan melahirkan generasi yang propasar. Pemerintah seolah galau hingga terus terjadi pergantian kurikulum, namun perubahan yang dicanangkan belum menunjukan hasil significant. Orientasi pendidikanpun mulai bergeser, dimana hampir semua akademisi memiliki orientasi mencari ilmu untuk bekerja maka jadilah Indonesia negara yang krisis kepemimpinan. Tak heran meski berpendidikan tinggi dan bergelar profesorpun melakukan tindak korupsi sebagai output dari gagalnya sistem pendidikan.

Akar Masalah

Semua permaslahan ini tak lepas dari minimnya peran negara dalam melayani masyarakat termasuk pendidikan. Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan? Pertama: karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah.

Kedua: Dana APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Pada saat yang sama, kekayaan alam di negeri ini yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan Negara justru ’dipersembahkan’ kepada penjajah asing seperti ExxonMobil, Freeport, Unocal, Caltex, Shell, dan sebagainya.

ditambah lg  dengan kuatnya aroma industrialisasi dan kapitalisasi pendudikan sbg konsekuensi atas berbagai ratifikasi perjanjian internasional.  Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 1995 Indonesia resmi menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Negara-negara anggota WTO diharuskan menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, serta jasa-jasa lainnya.  Implementasinya diantaranya adalah dengan ditetapkannya PP no 66 tahun 2010 .  kapitalisasi pendidikan tinggi makin menjadi dengan disahkannya UU Perguruan Tinggi ditahun 2012 yang menjadikan perguruan tinggi dari lembaga pemerintah yang menyediakan pelayanan publik yang berorientasi pada peningkatan ilmu dan pendidikan rakyat menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan bisnis yang salah satu sumber utama dana mandiri tersebut adalah pembayaran yang dibebankan kepada mahasiswa.

Keresahan Indonesia semakin bertambah dengan akan diberlakukannya AFTA dan AEC pada tahun 2015, yang semakin me “nol” kan peran pemerintah dan menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator dengan menyerahkan semua urusan kepada individu dalam mekanisme pasar bebas. Pendidikanpun mengarah kepada penyiapan generasi menuju pasar bebas dengan kurikulum-kurikulum berbasis entrepreneurship yang diharapkan akan mampu menghadapi AFTA dan AEC. Realitas intervensi asing terhadap sistem pendidikan di Indonesia, tidak lain merupakan upaya penyempurnaan penjajahan mereka di negeri ini. Sektor ekonomi, pendidikan, dan politik merupakan sektor vital bagi suatu negara. apabila ketiga sektor itu telah dikuasai maka secara de facto sebenarnya negara tersebut telah terjajah. Parahnya, para pemimpin di negeri ini justru rela menyengsarakan rakyatnya sendiri demi mengabdi pada negara penjajah.

Pendidikan Wajib Murah

Islam memiliki sistem politik yang jelas. Dalam Islam, visi pendidikan adalah untuk menjadikan kita umat terbaik yang terdepan dalam segala aspek. Maka dari itu Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada warganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan fasilitas sebaik mungkin (An Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 283-284).

Sehingga akan melahirkan generesi visioner yang : Ulul Albab, yaitu generasi yang memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) serta terdepan dalam ilmu penegtahuan dan teknologi sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah SWT, yang itu tidak pernah kita temui dalam sistem saat ini. Konsep pendidikan murah/gratis ini telah diterapkan oleh Khilafah Islam selama kurang lebih 1400 tahun, yaitu sejak Daulah didirikan di Madinah oleh Rasulullah saw. hingga Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh imperialis kafir pada tahun 1924 M. Selama kurun itu pendidikan Islam telah mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf internasional dalam berbagai bidang. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas (w. 798), Imam Syafii (w. 820), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855), dan Imam Bukhari (w. 870) sebagai ahli al-Quran, hadis, fikih, dan sejarah; Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur; al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi; al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika; ar-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia; Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik; Ibnu al-Bairar (al-Nabati) sebagai ahli pertanian khususnya botani, dan masih banyak lagi.

Generasi pemimpin, yaitu generasi yang mampu memimpin dirinya , keluarganya serta masyarakat dengan landasan tanggung jawab dihadapan Allah SWT. Yang ketika nanti menjadi penguasa akan sangat menyadari betulbahwa dalam sistem islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Penguasa Islam, Khalifah, bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Setiap warga negara harus dijamin pemenuhan kebutuhan dasarnya oleh negara, termasuk dalam pendidikan. Hal ini disandarkan pada sabda Rasulullah saw.:

اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Darimana Khalifah mendapatkan sumber dana untuk menjalankan pendidikan gratis dan bermutu?

Sumber dana untuk pendidikan bisa diambil dari hasil-hasil kekayaan alam milik rakyat. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak adalah milik umum/rakyat. Rasulullah saw. bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, hutan dan energi. (HR Ibn Majah).

Khalifah bertugas untuk memenej pengeloaan sumberdaya alam tersebut dan mendistribusikannya kepada rakyat, misalnya untuk pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan sebagainya. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat.

Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai krisis yang membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah baik dalam bidangekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya. Sungguh, hanya dengan syariah Islam dalam institusi Khilafah sajalah kita bisa meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.

Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tidak akan mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8).[]

- Nelsa Kurnia -

Staf Kementerian Kebijakan Publik

BEM UA 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun