Mohon tunggu...
Muhammad Hafiz
Muhammad Hafiz Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perdamaianku untuk Dunia

4 Juni 2017   11:17 Diperbarui: 4 Juni 2017   11:34 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

4 juni 2017

di sudut jalan di ujung sebuah desa sekelompok anak remaja tanggung memenuhi tepi ruas jalan sepanjang lebih kurang 300 meter

dengan antusiah membelalakan mata nya seolah tak mau kehilangan momen penting setiap detiknya , balapan liar 

potret kekinian yang memenuhi kanvas sebuah daerah yang merupakan hiasan tanpa makna 

sementara ......

Naufal seorang yang berumur 14 tahun menghabiskan uang orang tuanya demi secercah harapan bagi masyarakat

berkat keuletan dan ketekunan dengan niat luhur untuk memabatu sesama berhasil menghasilkan energi rumah tangga

salut atas keberhasilannya

..................................................

kenyataan ini terus tumbuh dan membesar bahkan tanpa sekat , terasa tajam perbedaan antara keduanya dan menjurus berat sebelah

ironis memang pemandanagan ini 

apakah ada yang salah , ataukah 

ada yang hilang ....................

kecendrungan ini melanda hampir seantero tanah air bahkan memasuki semua lapisan masyarakat dari akar rumput sampai tower ketinggian 

.............

adakah musuh yang lebih berat dari ini ?

ada , yaitu perang melawan dirimu sendiri

didalam diri anak cucu adam itu kutanam bibit kebaikan dan bibit keburukan , karena manusia itu adalah sebuah kebijakan 

beda dengan malaikat yang senantias menjalankan kebenaran pun sebaliknya syaiton yang tak pernah ingkar untuk berbuat keburukan

perselisihan panjang nan melelahkan menghiasi umur dunia yang nyaris dapat dihentikan 

seolah sesuatu yang teramat berat untuk diubah , terkadang berbuat baik dan sedetik kemudian melakukan kesalahan 

inilah yang terus terjadi 

haruskah kita harus menyelam berpuluh - kilo meter untuk mendapatkan sebuah mutiara , atau pun harus terbang tinggi melintasi batas atmosfir

ataukah kita harus menghabiskan umur untuk pendidikan baik formal maupun non formal ?

jawabnya tidak perlu

keinsanan itu adalah esensi sejatinya manusia, berarti jika belum mencapai tingkat keinsanannya belum dapat dikatagorikan sebagai manusia atau masih tergolong orang ,

dari sudut yang sempit renungan ini coba kami tuangkan kekanvas kecil ini

ternyata teramat susah untuk menaklukan akal kita sendiri baik sebagai mahluk sosial maupun sebagai penganut sebuah kepercayaan

selalu saja sang akal mengklaim dirinya paling benar dalam setiap hela nafas ini , padahal akal tidak dapat merasakan apa yang telah dikaryakannya 

berbeda dengan hati atau perasaan yang merasakan akibat dari semua itu

terlalu mengedepankan perasaan juga tidak lah lebih baik pun sebaliknya 

kedua entitas diri ini  melahirkan tingkah laku atau prilaku kita semua tanpa terkecuali

perasa melahirkan kebijakan tanpa hukum hingga dapat menurunkan standard kemanusian

penuh dengan hitung - hitungan adalah karya akal yang hanya akan melahirkan hukum saja serta justru membuang sisi - sisi kemanusian

semuanya mengabaikan keberadaan sang pencipta ( sebab akibat )

ya Ibrahim minta tolonglah engkau atas aku api niscahya akan kuhilangkan panasku ( saat nabi Ibrahim akan dibakar raja Namrut )

tidak ya api aku Ibrahim hanya akan mengharapkan pertolongan Tuhanku 

baiklah ya Ibrahim nikmatilah panasku 

apa yang terjadi....

sampai habis tumpukan kayu untuk menghidukan api ternyata Ibrahim tidak terbakar dan sehat wal'fiat

saat itulah akal takluk dan beriman bahwa ada sang pencipta yakni Allah SWT

pengakuan diri tentang keberadaan sang pencipta ini ternyata menjadi parameter dalam proses perdamai ku

nyatalah ketiada berdayaan ku atas semua ini 

saat tubuh terbujur kaku ( mati ) , tangan tak dapat begerak , telinga tuli mulut bisu pun mata menjadi buta dan seterusnya

pengakuan ini terasa sulit kita wujudkan karena semua keberhasilan adalah seolah karya kita dan kegagalan adalah nasib

dengan sadar ku akui bahwa aku tiada berdaya yang ada adalah tuhan dengan segala perbuatannya

pengakuanku ini adalah filisofi ku dalam menjalankan fungsi sebagai mahluk yang berkeyakinan dan sebagai mahluk sosial

telah kering dan seakan tak lahir lagi filosof - filisof di Negeri ini sehingga kecendrungan untuk mengetahui dunia luar lebih dominan ketimbang menggali poteisi diri hingga bak anai - anai yang siap ditiup angin tanpa arah

propaganda imformasi tak terbendung bagaikan djajal yang tengah memperkenalkan dirinya 

bukan anti kemajuan 

bukan anti perubahan

esensi kemanusiaan itu adalah perdamaianku

perdamaianku untukmu dunia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun