4 juni 2017
di sudut jalan di ujung sebuah desa sekelompok anak remaja tanggung memenuhi tepi ruas jalan sepanjang lebih kurang 300 meter
dengan antusiah membelalakan mata nya seolah tak mau kehilangan momen penting setiap detiknya , balapan liarÂ
potret kekinian yang memenuhi kanvas sebuah daerah yang merupakan hiasan tanpa maknaÂ
sementara ......
Naufal seorang yang berumur 14 tahun menghabiskan uang orang tuanya demi secercah harapan bagi masyarakat
berkat keuletan dan ketekunan dengan niat luhur untuk memabatu sesama berhasil menghasilkan energi rumah tangga
salut atas keberhasilannya
..................................................
kenyataan ini terus tumbuh dan membesar bahkan tanpa sekat , terasa tajam perbedaan antara keduanya dan menjurus berat sebelah
ironis memang pemandanagan iniÂ
apakah ada yang salah , ataukahÂ
ada yang hilang ....................
kecendrungan ini melanda hampir seantero tanah air bahkan memasuki semua lapisan masyarakat dari akar rumput sampai tower ketinggianÂ
.............
adakah musuh yang lebih berat dari ini ?
ada , yaitu perang melawan dirimu sendiri
didalam diri anak cucu adam itu kutanam bibit kebaikan dan bibit keburukan , karena manusia itu adalah sebuah kebijakanÂ
beda dengan malaikat yang senantias menjalankan kebenaran pun sebaliknya syaiton yang tak pernah ingkar untuk berbuat keburukan
perselisihan panjang nan melelahkan menghiasi umur dunia yang nyaris dapat dihentikanÂ
seolah sesuatu yang teramat berat untuk diubah , terkadang berbuat baik dan sedetik kemudian melakukan kesalahanÂ
inilah yang terus terjadiÂ
haruskah kita harus menyelam berpuluh - kilo meter untuk mendapatkan sebuah mutiara , atau pun harus terbang tinggi melintasi batas atmosfir
ataukah kita harus menghabiskan umur untuk pendidikan baik formal maupun non formal ?
jawabnya tidak perlu
keinsanan itu adalah esensi sejatinya manusia, berarti jika belum mencapai tingkat keinsanannya belum dapat dikatagorikan sebagai manusia atau masih tergolong orang ,
dari sudut yang sempit renungan ini coba kami tuangkan kekanvas kecil ini
ternyata teramat susah untuk menaklukan akal kita sendiri baik sebagai mahluk sosial maupun sebagai penganut sebuah kepercayaan
selalu saja sang akal mengklaim dirinya paling benar dalam setiap hela nafas ini , padahal akal tidak dapat merasakan apa yang telah dikaryakannyaÂ
berbeda dengan hati atau perasaan yang merasakan akibat dari semua itu
terlalu mengedepankan perasaan juga tidak lah lebih baik pun sebaliknyaÂ
kedua entitas diri ini  melahirkan tingkah laku atau prilaku kita semua tanpa terkecuali
perasa melahirkan kebijakan tanpa hukum hingga dapat menurunkan standard kemanusian
penuh dengan hitung - hitungan adalah karya akal yang hanya akan melahirkan hukum saja serta justru membuang sisi - sisi kemanusian
semuanya mengabaikan keberadaan sang pencipta ( sebab akibat )
ya Ibrahim minta tolonglah engkau atas aku api niscahya akan kuhilangkan panasku ( saat nabi Ibrahim akan dibakar raja Namrut )
tidak ya api aku Ibrahim hanya akan mengharapkan pertolongan TuhankuÂ
baiklah ya Ibrahim nikmatilah panaskuÂ
apa yang terjadi....
sampai habis tumpukan kayu untuk menghidukan api ternyata Ibrahim tidak terbakar dan sehat wal'fiat
saat itulah akal takluk dan beriman bahwa ada sang pencipta yakni Allah SWT
pengakuan diri tentang keberadaan sang pencipta ini ternyata menjadi parameter dalam proses perdamai ku
nyatalah ketiada berdayaan ku atas semua iniÂ
saat tubuh terbujur kaku ( mati ) , tangan tak dapat begerak , telinga tuli mulut bisu pun mata menjadi buta dan seterusnya
pengakuan ini terasa sulit kita wujudkan karena semua keberhasilan adalah seolah karya kita dan kegagalan adalah nasib
dengan sadar ku akui bahwa aku tiada berdaya yang ada adalah tuhan dengan segala perbuatannya
pengakuanku ini adalah filisofi ku dalam menjalankan fungsi sebagai mahluk yang berkeyakinan dan sebagai mahluk sosial
telah kering dan seakan tak lahir lagi filosof - filisof di Negeri ini sehingga kecendrungan untuk mengetahui dunia luar lebih dominan ketimbang menggali poteisi diri hingga bak anai - anai yang siap ditiup angin tanpa arah
propaganda imformasi tak terbendung bagaikan djajal yang tengah memperkenalkan dirinyaÂ
bukan anti kemajuanÂ
bukan anti perubahan
esensi kemanusiaan itu adalah perdamaianku
perdamaianku untukmu dunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H