Puluhan anak-anak menyambut kedatangan saya dan Tim Jelajah Nusantara  Sekolah Nasima saat tiba di Kampung Nelayan Papela, Kecamatan Rote Timur Kabupaten Rote Ndao NTT. Rois, Fraky, Arman dan teman-teman sebayanya  tampak senang ketika kami datang. Sikapnya malu-malu seolah ingin berkenalan.Â
Beruntung  kami membawa banyak penganan kecil sebagai media  berkenalan. Sejurus kemudian aneka penganan tersebut telah berpindah dari satu tangan ke tangan lain secara merata. Kami kemudian menjadi akrab.
Kami baru kali pertama itu datang ke Papela. Ini sebenarnya sebuah perjalanan tidak terencana. Tetapi sungguh spesial jadinya. Awalnya kami hanya ingin membuang sepi. Pesawat kami mendarat paling pagi. Pukul 07.10 Â sudah sampai di Bandara DC Saudale Rote Ndao. Kami kemudian berkeliling Ba'a, menyusuri pantai utara Rote, Pelabuhan Pantai Baru, dan sampailah ke Papela, Rote Timur.
Hujan yang turun di bulan Desember cukup membuat alam Pulau Rote tampak segar nan hijau. Namun Anda harus hati-hati melewati jalanan di Pulau Rote, sekawanan sapi, kambing, bahkan babi sering tiba-tiba muncul menyeberang jalan. Anda harus mengalah memberi jalan kepada hewan-hewan piaraan tersebut. Â
Papela sejatinya hanyalah sebuah desa yang masuk wilayah Kecamatan Rote Timur. Pun begitu, Papela  adalah kawasan yang padat penduduk, bahkan konon kota terbesar kedua setelah Ba'a. Bagi masyarakat Rote, Papela cukup menarik karena terbentuk dari sebuah komunitas muslim dan merupakan desa nelayan. Penduduk kampung nelayan ini kebanyakan keturunan suku Bugis, Jawa, Madura, Arab, dan beberapa suku lainnya.Â
Setelah pelaut dari Solor dan Baranusa kemudian berdatangan juga  pelaut dari Wakatobi dan Bajau, Madura, kemudian barulah datang pedagang asal Jawa, Buton dan Arab.
Papela menjadi check point pelaut-pelaut dari Sulawesi, Flores, dan Solor sebelum mereka meneruskan pelayaran ke Ashmore Reef di Australia guna mencari lola atau sejenis kerang laut bernilai ekonomis tinggi. Dalam perjalanan kembali dari Ashmore Reef para pelaut ini juga kembali singgah di Papela guna melengkapi perbekalan mereka. Banyak di antara pelaut ini yang tidak kembali ke kampung mereka dan akhirnya menetap di Papela. Â
Nelayan Papela dan Human Traficking
Radio Australia dalam siaran persnya pernah merilis  di tengah penurunan harga sirip ikan hiu, nelayan tradisional di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur memutuskan beralih profesi membantu kegiatan penyelundupan manusia ke Australia.
Selain faktor harga sirip hiu di pasaran Hongkong dan China yang menurun, para nelayan ini juga terjerat lingkaran utang. Selain itu, kebijakan Australia yang makin ketat, menyebabkan para nelayan tersebut beralih membantu penyelundupan manusia.
Joko seorang nelayan yang saya temui mengatakan ia sudah puluhan tahun malang melintang menjadi nelayan. Bahkan ia sudah beberapa kali ditangkap dan di penjara di Pula Christmas oleh pemerintah Australia karena mencuri ikan dan terlibat dalam kasus human trafficking
"Saya melaut sejak tamat SMA. Awalnya hanya sebagai anak buah kapal, lama-kelamaan saya bisa menjadi nahkoda. Â Awalnya ya hanya melaut dan mencari ikan. Tetapi karena tangkapan hasil laut juga sedikit, kebutuhan hidup banyak ada orang nawari kerjaan bawa orang ke Australia ya saya ambil" kata Joko yang nenek moyangnya orang Pati Jawa Tengah itu.
Untuk satu kali perjalanan ke Australia, ia dibayar 50-70 juta. Bergantung besar kecilnya kapal. Cukongnya biasanya  orang Bandung dan Jakarta. Mereka  yang punya kapal. Ia hanya jadi nahkoda. Penyewa kapal biasanya orang-orang dari negara konflik seperti Suriah, Irak, Iran, dan negara timur tengah lainnya.
Joko  kini telah lama meninggalkan pekerjaan haram itu. Ia lebih sering membantu kakaknya mengangkut ikan  dan barang dagangan lain ke Kupang. Di samping  itu ia juga punya harapan baru dengan semakin dikenalnya Pantai Mulut Seribu; sebuah destinasi wisata bahari yang sangat cantik dan perawan  tidak jauh dari kampungnya.
Dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang berkunjung ke Pantai Mulut Seribu, praktis ia dan teman-temannya mendapatkan manfaat ekonomi dari menyewakan kapal. Untuk satu trip perjalanan Joko menawarkan harga yang sangat murah, yakni sebesar Rp 500.000,-. Kalau mau lebih, misalnya mau memancing pada malam hari ia mematok tarif Rp. 1.500.000 per kapal. Â Walau belum signifikan dengan tingkat pendapatan, setidaknya ini menjadi harapan baru bagi Joko dan nelayan Kampung Papela agar tidak lagi terjerumus ke dalam lingkaran sindikat perdagangan manusia yang menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia dan Australia di wilayah itu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H