[caption caption="Ibu (foto dindin)"][/caption]Ibuku, orang yang melahirkanku kini usianya sudah mendekati 80 tahun. Di kampung, ibu adalah satu-satunya orang yang dituakan. Ia sering bercerita, bahwa orang-orang seusianya semuanya telah meninggal. Hanya tinggal ia seorang.
Saya juga heran, setua itu fisiknya masih sangat kuat. Pendengarannya dan penglihatannya masih tajam. Pokoknya semua organ tubuhnya masih berfungsi normal. Makanya aku, istri, dan anak-anak selalu hati-hati kalau berbicara di depannya, jangan sampai menyakiti perasaannya. Bisa murka ia.
Aku sering iba melihatnya. Di usianya yang sudah renta, ia hidup sendiri. Ayah sudah meninggal lima tahun lalu. Kelima anaknya telah memiliki rumah dan perkerjaan masing-masing. Tiga anaknya termasuk aku hidup dan bekerja di luar kota, dua lainnya walaupun agak jauh tetapi masih tinggal dalam satu kota.
Beruntung masih ada kakak yang selalu mengunjunginya setiap pagi dan sore. Untuk memantau keadaannya, atau sekedar mengirim makanan dan membelikannya kinang. Kinang adalah semacam jamu penting yang harus tersedia untuk ibu setiap hari. Bagi ibu lebih baik tidak makan daripada tidak nginang. Karena seringnya nginang, sampai sekarang giginya masih kuat dan lengkap. Belum banyak yang tanggal.
Aku adalah anak terakhir. Menurut adat kampung, anak terakhir harus tinggal di rumah waris dan mengurus orang tua. Namun karena pekerjaan, maka tidak memungkinkan bagiku untuk menetap tinggal bersama ibu. Kalau lagi banyak waktu sebulan sekali baru bisa pulang menengok ibu. Tetapi jika banyak pekerjaan dan kesibukan, kadang sampai tiga empat bulan aku baru sempat pulang.
Setiap menengok ibu, aku selalu dihantui rasa bersalah. Seolah aku membiarkan dirinya menanggung penderitaan hidup seorang diri. Sering ia mengeluh, bahwa seusianya mestinya ada orang serumah yang sedia setiap saat melayani kebutuhan-kebutuhannya. Mencuci pakaiannya, memasak air, membuatkannya teh hangat, atau membangunkan dirinya ketika mengigau di tengah malam.
Ibuku sering mengigau saat tidur. Dalam dunia medis disebut sleep paralysis atau orang jawa bilang tindihen. Sering pada tengah malam ia berteriak-teriak dalam tidurnya. Mungkin ia mimpi buruk. Dalam kondisi ini harus ada yang membangunkan. Walupun pada saatnya ia akan sadar dengan sendirinya.
Pernah suatu saat anak-anaknya berinisiatif untuk mencarikan rewang. Namun ia menolak dengan keras. Menurutnya itu pemborosan. “Bisa untuk kebutuhan lain” tuturnya.
Pernah juga suatu saat kuajak ke Semarang, untuk tinggal bersamaku. Namun seperti orang tua kampung kebanyakan, ia hanya betah beberapa hari. Kemudian beralih ke rumah kakak di kota lain. Sama, ia hanya betah beberapa hari lantas meminta diantar pulang. Panas, sumpek, dan ora ondan katanya.
Hari ini aku pulang menjenguknya, kakak mengabari kalau ia sakit. Aku mememenuhi permintaannya, walau bukan hari libur. Walau jarak Semarang Kebumen hampir 200 km, itu bukan halangan untuk tidak menemuinya. Toh tidak setiap hari ia ‘memintaku’ pulang.
“Bukan ke dokternya. Bukan pula ke rumah sakitnya. Apalagi berharap uang atau oleh-oleh darimu. Bukan, bukan itu. Yang penting kamu pulang nak. Seorang anak bisa saja lupa orang tuanya Tetapi seorang ibu, tak sedetikpun bisa lupa akan anak-anaknya. Setiap hari, setiap waktu, ia selalu menunggu, berharap anak-anaknya datang menemui. Termasuk aku, ibumu” ibuku berucap setengah menangis.