[caption caption="Kondisi rumah korban (foto dindin)"][/caption]Saya dan beberapa rekan dari tim AJT, baru saja takziyah serta memberikan bantuan ke sebuah keluarga yang terkena musibah bencana di pinggiran Semarang. Ada sebuah peristiwa memilukan Ibu dan anaknya tewas terseret arus sungai saat mencuci. Mungkin bagi banyak orang ini sebuah peristiwa biasa, namun bagi saya banyak hal yang bisa dipetik dari kejadian ini.
Namanya Endang Prihatiningsih (37). Dari namanya sudah bisa ditebak, dia lahir dalam kondisi orang tua yang prihatin. Atau bisa jadi kondisi negara waktu ia dilahirkan sedang prihatin. Ia janda dengan empat anak yang masih kecil-kecil. Suami Endang telah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit.
Semenjak ditinggal suami, Endang harus bekerja banting tulang menghidupi keempat anaknya. Mungkin karena beban hidup yang terlalu berat, beberapa tahun setelah kematian suaminya ia tergoncang jiwanya. Depresi berat.
Via anak pertamanya duduk di kelas VI. Anak keduanya Rio duduk di kelas IV. Bela anak ketiganya duduk di kelas III, sedangkan Frisa sekira dua tahun. Semuanya masih butuh banyak biaya, sedangkan ia hanya mengandalkan penghasilan dari kerja serabutan. Mencuci, menyeterika, buruh bangunan, apapun asal bisa menghasilkan rupiah semua dilakukan.
Rumahnya sangat sederhana, mungkin luas sekira 40 m2. Sudah bertembok batu bata, namun belum sempurna. “Ini dibangun dari bantuan warga dan lembaga zakat mas. Dulu sangat memprihatinkan dari ini” terang H. Sobirin, ketua RT 02 RW 7 Kalialang Baru Kel Sukorejo Kec. Gunungpati Kota Semarang.
Sebenarnya rumah Endang tidak layak disebut rumah hunian, lebih tepatnya mirip tempat sampah. Pakaian kotor dan menumpuk berserak di sana sini. Sampah ada di mana-mana. Saya tak habis pikir, bagaimana kehidupan ia dan anak-anaknya selama ini.
Dan Selasa (29/12) merupakan akhir dari segalanya. Seperti biasa setiap sore ia mencuci di Sungai Tempuran Kalialang, yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya. Ia mengajak serta Bela (10), Frisa (2) ke kali. Naas saat ada di sungai ia tidak mengira ada air bah datang. Endang dan kedua anaknya terhempas diterjang air bah kiriman. Dalam pusaran air bah, ia masih sempat merengkuh Bela ; anaknya yang besar, namun Frisa anaknya yang masih balita tidak terselamatkan. Hilang ditelan air bah.
Beberapa warga yang tidak jauh dari lokasi langsung memberikan pertolongan dan membawa Endang dan anaknya ke rumah sakit. Namun karena banyak luka ditubuhnya, nyawa Endang tidak tertolong. Rabu (30/12) pkl 02.00 ia meninggal. Bela selamat, namun adiknya Frisa sampai saat ini belum ditemukan oleh Tim SAR yang sedari semalam menyisir Sungai Tempuran.
Saya sempat mengorek keterangan dari tetangga tentang saudara dekat almarhumah. Berdasarkan informasi almarhum tidak memiliki saudara yang tinggal di sekitar Semarang. “Ada saudara tetapi di Pemalang. Sepertinya sudah putus hubungan. Saudara dari pihak suami sebenarnya ada juga di sekitar sini, namun sama saja kondisinya. Masih kontrak malah, belum punya rumah. Tadi dirembug sama warga diminta menempati rumah almarhumah,mau. Tetapi kalau suruh merawat anak-anaknya dia tidak sanggup” kata H. Sobirin
Saya tidak habis pikir mengapa dalam kondisi gawat darurat kemanusiaan seperti itu orang-orang terdekatnya tidak menunjukkan empati seperti layaknya saudara?. Apakah kemiskinan yang menjadi penyebabnya? Terus siapa yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan peradaban ketiga anak yang telah menjadi yatim piatu itu?
Syukurlah banyak pihak telah menawarkan bantuan pendidikan dan keberlangsungan hidup ketiga anak-anak tadi. Pihak pemerintah desa, kecamatan, dan beberapa panti asuhan, pondok pesantren, telah datang untuk memberikan bantuan.