Pertengahan Juni lalu saya mendapatkan tawaran untuk ikut dalam ekspedisi Jelajah Nusantara Bumi Swarnadwipa. Hmm sungguh tawaran yang tidak mungkin saya lewatkan. Mimpi saya terwujud : setiap waktu bisa keliling Indonesia. Maka jadilah hampir selama duabelas hari saya di Bumi Swarnadwipa itu. Berikut liputannya.
[caption id="attachment_370857" align="aligncenter" width="560" caption="Bandar Udara Sultan Iskandar Muda yang takbegitu ramai (foto dindin)"][/caption]
Hari menjelang siang saat pesawat Lion Air yang kami tumpangi mendarat dengan tidak begitu mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Tampaknya hujan baru saja reda. Air masih menggenang di beberapa titik landasan pacu yang tak begitu luas. Alhamdulillah setelah menempuh ribuan kilometer dari Jakarta akhirnya sampai juga saya di Tanah Rencong.
Berbeda dengan bandara di Jawa, Bandar Udara Iskandar Muda tampak sepi dan jauh dari hiruk pikuk lalu lintas penerbangan. Hanya beberapa pesawat saja yang terlihat terparkir di apron. “Hanya ada beberapa maskapai saja yang melayani rute ke Aceh. Mungkin karena tidak begitu ramai” kata Pak Jamal yang menjemput kami di Bandara.
[caption id="attachment_370860" align="aligncenter" width="490" caption="Gerbang pelabuhan Balohan, Sabang (foto dindin)"]
Pak Jamal adalah karib saya yang telah beberapa tahun bertugas di Banda Aceh. Sebenarnya sudah lama kami tidak berkirim kabar. Saya masih ingat terakhir kami berkomunikasi saat ia mendaftarkan putra kembarnya di sekolah tempat saya bekerja. Setelah kedua anaknya diterima di sekolah kami pun tak pernah berkirim kabar lagi.
Saat dalam perjalanan ke bandara, saya mencoba menghubunginya. Menanyakan kabar dan situasi di Aceh. Perbincangan kami sangat hangat, seolah dua sahabat yang lama tak bersua. Sampai akhirnya ia menawarkan kebaikan untuk menjemput kami di Bandara Iskandar Muda Aceh. Sungguh berkah yang tiada terkira. Kebaikan demi kebaikan kami terima, mulai jamuan makan, sampai tur keliling Kota Banda Aceh malam itu. Selepas isya kami berpisah. Beliau harus kembali dengan tugas dinasnya dan saya bermalam di Hotel Medan yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Markas Kodam I Iskandar Muda.
[caption id="attachment_370861" align="aligncenter" width="490" caption="Istirahat menikmati indahnya Sabang di tengah perjalanan menuju titik nol kilometer (dindin)"]
Hari masih pagi saat kami bergegas menuju Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh. Hari itu Tim Jelajah Bumi Swarnadwipa Nasima berencana menuju Sabang. Akhi dan Arman dua tour guide kami sudah menunggu di lobi hotel. “ Agak cepat pak, mumpung cuaca baik. Kita sebaiknya segera berangkat” serunya. Penyeberangan ke Sabang memang bergantung cuaca. Jika otoritas pelabuhan menyatakan bahwa cauca tidak memungkinkan, maka semua aktivitas penyeberangan ke Sabang dihentikan. Beruntunglah pagi itu cuaca cerah dan ombak tak begitu tinggi.
Setelah menyusuri jalanan pagi Aceh yang takbegitu ramai, kamipun sampai di Pelabuhan Ulee Lheue Pelabuhan Ulee Lheue merupakan pelabuhan tua. Setelah tsunami menerjang Aceh 2004 silam, kondisi Pelabuhan Ulee Lheue sangat memprihatinkan karena tak satupun bangunan fasilitas darat yang tersisa. Beberapa tahun berikutnya Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Acah membangun kembali pelabuhan ini mengingat peran pentingnya yang menjadi penghubung urat nadi ekonomi Banda Aceh dengan kota-kota lain di Sumatera.
Setelah membeli tiket dan berebut dengan penumpang lain, akhirnya kami naik kapal cepat menuju Sabang.Satu jam berlalu, akhirnya kami menginjakkan kaki di kota yang konon dikenal sebagai tempat pembuangan tawan Belanda itu.
[caption id="attachment_370863" align="aligncenter" width="490" caption="Tugu Nol Kilometer di ujung Sabang (foto dindin)"]
Kebanyakan orang Indonesia hanya mengenal Sabang dari lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” ciptaan R. Soerardjo . Awalnya lagu tersebut bersyair "Dari Barat sampai ke Timur, Berjajar Pulau-pulau", tetapi bait tersebut kemudian diubah atas masukan Presiden Soekarno tahun 1960-an saat mempersatukan Irian Barat ke NKRI.
Berkat lagu yang jamak dinyanyikan pada masa sekolah dasar itu kita tahu bahwa Sabang adalah titik terbarat di Indonesia sementara Merauke adalah titik paling timur di Indonesia. Namun, seberapa banyak pejabat negara, politisi, atau orang Indonesia yang tertarik mengunjungi daerah bersejarah itu?
[caption id="attachment_370864" align="aligncenter" width="490" caption="Menikmati taman laut dari atas perahu kecil (foto dindin)"]
Seharusnya setiap kepala negara atau pejabat pemerintah diwajibkan mengunjungi titik nol kilometer Indonesia di Sabang dan di Merauke. Agar jiwa nasionalismenya tumbuh, dan muncul kesadaran untuk membangun bangsa yang mahaluas ini. Tidak hanya memikirkan perutnya saja.
Sabang adalah kota administratif yang terletak di Pulau Weh dan masuk dalam wilayah provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sabang memang cantik dan memiliki segalanya. Pulau ini memiliki pantai yang amat cantik, taman laut yang mempesona, dan jangan lupa di Sabanglah tertanam Tugu Nol Kilometer Indonesia.
Walaupun wilayahnya tak begitu luas, namun berkendara menuju tempat keramain pulau Sabang membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Lamanya jarak tempuh tersebut disebabkan karena kontur pulau yang memang berbukit-bukit. Kendaraan tidak dapat melaju kencang lantaran harus melahap turunan dan tanjakan yang ditemui. Lebar median jalan dan kontur jalan yang tidak lurus juga menjadi penyebannya. Yang mengejutkan mengejutkan, kondisi jalan utama hampir di semua wilayah Sabang sangat bagus dan beraspal. Kondisi jalan yang teraspal baik ini bahkan menurut saya lebih bagus dari kondisi jalan utama di kota-kota besar di Jawa.
[caption id="attachment_370865" align="aligncenter" width="490" caption="Snorkeling di Iboih (foto dindin)"]
Bisa jadi banyak traveler yang telah mengunjungi banyak tempat wisata di Indonesia, namun dapat mengunjungi Tugu Nol Kilometer Indonesia di Sabang adalah sebuah kebanggaan yang amat luar biasa. Tugu Nol Kilometer ini terletak di Ujong Ba’u, atau titik terujung di semenanjung sisi barat laut . Tugu Nol Kilometer adalah titik terbarat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah posisi paling sakral dalam konteks wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Perjalanan menuju ke Tugu Nol Kilometer melewati jalanan yang sempit dan berkelok-kelok, namun kondisi jalannya cukup baik. Menurut H. Yusuf Nafi pemrakarsa Tim Jelajah Nusantara , kondisi ini sangat berbeda saat ia mengunjungi tugu ini puluhan tahun silam. “Dulu jalannya masih berupa batu makadam, belum beraspal seperti sekarang. Waktu itu kami menumpang pick up untuk menuju lokasi. Sepanjang perjalanan bahkan sering siap-siap merunduk menghindari banyaknya tanaman perdu dan dahan yang melintang di sepanjang jalan” kenangnya.
Tugu Nol Kilometer secara fisik adalah bangunan setinggi 22,5 meter dengan bentuk lingkaran berjeruji. Bagian tugu dicat putih dan bagian atas lingkaran menyempit seperti mata bor. Puncak tugu ini terdapat patung burung Garuda menggenggam angka nol dilengkapi prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografisnya.
[caption id="attachment_370866" align="aligncenter" width="490" caption="Indonesia memang negeri yang kaya dan mempesona (foto dindin)"]
Sayangnya, kondisi yang sepi membuat tugu ini menjadi kurang terawat dan terlihat kotor. Semestinya pemerintah lebih memperhatikan monumen sakral ini. Misalnya dengan mempercantik bangunan di sekitarnya. Lebih baik lagi jika di samping tugu ini dibangun museum sebagai pusat informasi dan wahana edukasi bagi generasi bangsa. Ini amat penting mengingat kesadaran akan menjaga kedaulatan wilayah NKRI dalam generasi muda kita semakin memudar. Indonesia adalah negeri yang luar biasa indah dan menakjubkan. Indonesia negeri yang mahakaya dan mahaluas. Sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikannya karunia Tuhan yang diberikan kepada kita, bukan sebaliknya. (Muslihudin el Hasanudin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H