[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Mengunjungi Istana Baso, Batusangkar (foto dindin)"][/caption]
“Kenalkan ini Pak Didin, staff saya. Pengelola media sekolah. Dia juga penulis aktif di Kompasiana.”
Itu kalimat yang sering saya dengan dari atasan, saat memperkenalkan saya kepada orang-orang penting di sekitarnya. Saya hanya tersenyum, geli hati. Tapi saya tidak menyanggah. Apalagi meluruskan anggapannya tentang saya dan Kompasiana.
Penulis aktif? Ah tidak juga. Saya bukan kategori itu. Hanya kalau ada ide saja saya bisa menulis. Habis jalan-jalan, ketemu orang, atau lihat sesuatu yang menarik sehingga jadi bahan tulisan.
Tulisan saya juga tidak baik-baik amat. Juga tergolong belum banyak. Baru sampai angka seratus. Lebih sedikit. Belum sampai ribuan seperti kompasianer-kompasianer senior. Jangankan meraih penghargaan, jadi nominasi saja belum pernah. Masih jauuuh.
Menulis adalah Identitas
Menulis bagi saya adalah aktivitas mendokumentasikan. Apa saja. Mulai berbagai aktivitas kantor, lingkungan tempat tinggal, ataupun aktivitas pribadi, suka saya tulis. Itu saya lakukan dari dulu sampai sekarang. Biasanya saya posting di blog pribadi atau web kantor. Namun semenjak bergabung dengan Kompasiana, saya lebih rajin menulis. Motivasinya sederhana, titip tulisan di server gratis Kompasiana. Siapa tahu kelak bisa dirangkum jadi buku.
[caption id="attachment_387105" align="alignnone" width="700" caption="Tugu Nol Kilometer Indonesia di Pulau Weh Sabang (foto dindin)"]
Sering menulis, saya dilabeli identitas "bisa menulis". Dan banyak keeuntungannya ternyata. Jika di kantor ada kegiatan ke luar kota nama saya selalu disorongkan paling mula. “Pak Didin saja. Fotonya bagus-bagus dan mesti jadi tulisan. Minimal masuk Kompasiana,” begitu kawan-kawan saya biasanya berucap. Saya hanya tersenyum malu.
Tapi memang sudah takterhitung lagi saya mendapat kesempatan untuk menghadiri acara-acara kantor ke daerah-daerah, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke luar negeri. Biasanya saya tulis lengkap di media sekolah dan Kompasiana.
Bos Suka Keliling Indonesia
Atasan saya orangnya unik. Ia memiliki keinginan yang tidak biasa dimiliki orang lain. Semua anaknya memiliki nama belakang Nasima yang berarti Nasionalis Agama. Karena beban nama itulah ia harus menanamkan jiwa nasionalisme dalam dada setiap putra-putrinya. Ia mencanangkan program keliling Indonesia untuk anak-anaknya itu dengan nama "Jelajah Nusantara".
[caption id="attachment_387072" align="aligncenter" width="532" caption="Liputan ke Balikpapan, Kaltim (foto dindin)"]
“Saya harus menanamkan kepada anak-anak bahwa Indonesia tidak hanya Jawa. Indonesia terdiri dari ratusan suku dan ribuan pulau yang tersebar di Nusantara. Anak-anak saya harus paham itu. Semua anak saya harus menyentuh titik Nol Kilometer Indonesia barat di Sabang dan titik Nol Kilometer Indonesia timur di Merauke,” katanya berapi-api.
Juni 2014 lalu ia melaksanakan nazarnya mengajak anak-anaknya Jelajah Bumi Swarnadwipa untuk menyentuh titik nol kilometer di ujung barat Indonesia, yakni di Pulau Weh, Sabang. Alhamdulillah saya mendapatkan tawaran istimewa untuk mendampingi beliau dalam ekpedisi itu. Apa saya akan melewatkannya? Tentu tidaklah.
Maka jadilah selama dua belas hari saya bersamanya menyusuri Sabang, Aceh, Meulaboh, Tapaktuan, mengelilingi Samosir, naik ke Doloksanggul, Sibolga, Bukittingi, Padang Panjang, Padang Sidempuan, Batusangkar, Muaratebo, Muarabungo, Jambi, dan Palembang. Cukup melelahkan, namun sungguh pengalaman yang asyik dan Indonesia banget.
Menyusuri Bali dan Lombok
Jelajah Nusantara ke Bumi Swarnadwipa yang kami lakukan saya publikasikan di media sekolah dan saya titipkan di Kompasiana. Tampaknya Bos mengapresiasi beberapa tulisan saya. Hingga beberapa bulan berikutnya, tepat pada pertengahan Desember 2014 ini ia melakukan Jelajah Nusantara edisi berikutnya; Menyusuri Bali dan Lombok. Lagi-lagi saya yang didaulat ikut serta.
[caption id="attachment_387073" align="aligncenter" width="560" caption="Masuk ke pedalaman Kampung Berua Ramang-Ramang, Sulsel (foto dindin"]
Maka jadilah selama sepuluh hari saya menyusuri Bali, mulai dari Nusa Dua, Kuta, Jimbaran, Pandawa, Jimbaran, Ubud, Gianyar, Tegalalang, Danau Batur, Besakih, Klungkung, Sidemen, Karangasem saya singgahi. Hampir selama lima hari saya menikmati keunikan Bali dari sisi yang berbeda. Perjalanan berlanjut ke Lombok melalui Gerung, Praya, Kuta, Tanjung Ana, Teluk Awang, Selong, Narmada, Mataram, Senggigi, Pusuk Monke Florest, Mataram dan kembali menyeberang ke Padang Bai melalui Lembar.
[caption id="attachment_387074" align="aligncenter" width="528" caption="Berhenti di Pelabuhan Pendaratan Ikan di Teluk Awang, Lombok Timur (foto dindin)"]
Perjalanan berlanjut menyusuri Bali selatan melalui Tabanan, Negari, Gilamanuk dan menyeberang ke Ketapang. Dari Banyuwangi dilanjut menuju Jember, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, dan pulang ke Semarang melalui jalur pantura.
Perjalanan semakin asyik karena kami mengendarai VW Combi buatan tahun 1975. Alhamdulillah walau tergolong mesin tua, tetapi tenaganya luar biasa. Hampir tak ada kendala yang berarti selama sepuluh hari berkeliling wilayah timur Indonesia. Beberapa sudah saya tulis di Kompasiana.
[caption id="attachment_387107" align="alignnone" width="618" caption="Pura Besakih, Bali (foto dindin)"]
“Coba mulai browsing paket ke Raja Ampat dan sekitarnya Pak. Juli depan kita siap-siap ke Papua,” suara Bos memecah keheningan malam saat roda-roda VW kami melahap aspal jalan pantura menuju Semarang.
Hmm... Capek belum juga hilang. Namun instruksi Bos itu bagi saya seperti surga yang telah lama saya impikan. Sungguh saya termasuk orang yang beruntung. Terima kasih semuanya. Terima kasih Kompasiana.
Ngijo, 29 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H