Mohon tunggu...
EM EM Diahmad
EM EM Diahmad Mohon Tunggu... Guru - m muslihat diahmad

abituren nw, alumnus iain yogya, pasca sarjana STIE Trianandra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Ulang Tahun, Gus Dur

9 September 2017   15:14 Diperbarui: 9 September 2017   15:47 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inisial nyeleneh terasa pas. Julukan sebagai negarawan, juga mengena. Pernah memimpin ummat terbesar Indonesia bahkan dunia, tiga periode. Seorang kolumnis kawakan, kaya gagasan, tulisannya mencerahkan. Seorang budayawan yang kerap memancing sensasi keagamaan, dan seniman yang sering membuat gergeran.

Pemimpin paling kreatif. Tokoh moderat penuh kontroversial. Guru bangsa yang inovatif. Politikus kawakan, sering bermanuver dengan guyonan. Sebagai ulama di belahan  nusantara, sekaligus seorang kiai yang rendah hati, pelobi unggul jempolan, diperhitungkan dalam banyak hal. Itulah Gus Dur.

Sebagai politikus, Gus Dur adalah penggagas Forum Demokrasi (FD) sekaligus pemimpin yang berprinsip dengan jargon demokrat. Ia memimpin perjuangan moral untuk menegakkan demokrasi dan kesetaraan. Ia tetap berjuang walaupun dilengserkan dari jabatan presiden. Suaranya mengaum demi tegaknya demokrasi, dan meratanya keadilan bagi kaum lemah dan minoritas yeng tertindas. Pernah memimpin lintas agama-agama sedunia. Beliau pelobi tangguh yang penuh humor, berjiwa humanis, bahkan populis, tidak sektarian. Ketika diajak membengkongi MUI dan ICMI, Gus Dur menolak. Itu sektarian, pungkasnya.

Ketika Jam'iyah Nahdlatul Ulama dipimpin oleh Prof. Dr. KH. Idkham Khalid, kelihatan tidak ada tanda-tanda yang bisa menggantikan yang setara beliau. Namun pada suatu muktamar terbetiklah suara di media masa dari ucapan Amin Rais Pimpinan Muhammadiah waktu itu dengan lontaran wacana bahwa, 'Seandainya Nahdlatul Ulama (NU) dipimpin oleh sosok sekaliber Gus Dur, maka kontribusinya akan lebih dari pendahulunya'. Pernyataan, sekaligus ucapan Amin Rais itu, ternyata kemudian benar dan terbukti, tidak meleset.

Karena ulahnya di belantika pemilihan pengurus besar Nahdlatul Ulama, bersaing ketat dengan Abu Hasan pada muktamar NU tahun 1997. Di Jembatan Semanggi Jakarta, terpampang sebuah  sepanduk besar yang berbunyi "Gantung Gus Dur Pemecah-belah Ummat", senyuman gaya Gus Dur menjawabnya. Dengan guyonan khas pada seterunya ia berkata: 'Abu Hasan memang kaya tetapi tidak lebih dari seorang makelar.

Dia bisa berdoa dengan membaca al-Fatihah saja'. Media massa terperangah dan pers geger, tercengang dengan banyolan yang mengena. Dan fakta menyatakan benar, bahwa Muktamar NU tahun itu adalah milik Gus Dur. Ia tampil tetap rendah hati dan terpilih sebagai Rais Am Tanfidziyyah Nahdlatul Ulama yang kedua kalinya.

Begitu juga waktu pemilihan presiden berlangsung 1999, tidak ada yang meramalkan akan terjadi suatu keajaiban dunia bahwa Gus Dur terpilih jadi presiden keempat di republik ini. Seorang Gus Dur yang nampak lugu, pakai sandal dan sering pakai sarung, yang pernah stroke dua kali, bahkan penglihatannya tidak memungkinkan untuk membaca teks pidato di muka umum, terpilih tanpa diduga dengan mengalahkan pesaingnya sekaligus yang kemudian menjadi wakilnya, yaitu Megawati Soekarnoputri. Khalayak takjub. Kagum.

Gus Dur sosok humanis, tidak pernah menyakiti hati orang,  apalagi sakit hati. Sebelum jadi presiden, pernah menawari Riyass Rasyid agar nanti membantunya dalam kabinet, namun Riyass menolak untuk menjadi menteri karena ingin menjadi Dirjen Otonomi Daerah saja.

Ketika Gus Dur akhirnya terpilih sebagai presiden, Ryass ditunjuk sebagai Menteri Otda. Ryass pun protes, tapi Gus Dur berkilah seraya menjawab, 'Lho, saya juga tidak mau Bapak Ryass jadi menteri, tapi Amin Rais dan Megawati selalu mendorong agar Bapak diangkat memangku jabatan jadi menteri,' tutur Ryass sambil tertawa renyah, guyon malah.

Sudi Silalahi dipromosikan menjabat eselon I sebagai Dirjen di Departemen Pertahanan RI, ketika Mahfud MD jadi menterinya. Presiden Gus Dur setuju, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat juga oke. Tetapi ketika mengurus SK-nya, Gus Dur kembali tiba-tiba tidak menyetujui. Kenapa? 'Karena para kiai Jawa Timur membawa aspirasi bahwa mereka tidak setuju kalau Sudi jadi Dirjen, mereka masih senang kalau Sudi tetap sebagai Pangdam,' kata Gus Dur, sang presiden. Dengan penolakan itu, tersinggungkah Sudi? Tidak. Pembatalan SK itu justeru terhormat bagi Sudi, karena Sudi masih sangat dibutuhkan oleh para kiai sebagai Pangdam Jawa Timur.

Sebagai ulama, Gus Dur adalah nama kondang dari Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Apapun yang dikatakannya hampir-hampir menduduki posisi sebagai fatwa bagi berjuta-juta kaum Muslimin. Umat, banyak memposisikannya sebagai penggagas, 'Islam harus dipribumisasikan,' pungkasnya dalam satu kesempatan. Islam harus mengakar ke dalam bumi Indonesia modern, bumi yang sifatnya nasional heterogin, bukan lokal homogin. Mempermulus proses demokratisasi lewat interpretasi ajaran Islam yang dimengerti umat.

Sebagai kiai, beliau dipanggil 'Gus' di depan penggalan namanya 'Dur.' Sebuah gelar di kalangan ummat Islam Jawa. Sebutan itu merujuk kepada berkah Ilahi dan karamah yang diasosiasikan kepadanya. Gus Dur adalah 'waliullah,' kata orang disana, jelas sebagian umat, karena sarat dengan kasus-kasus anekdot  yang melekat pada dirinya.

Dalam upaya untuk ikut memperkukuh integrasi nasional, Gus Dur mengkritik kecenderungan para pejabat resmi negara dan pemimpin umat Islam lainnya yang mengawali pidato atau sambutan dengan ucapan salam "Assalamu'alaikum". Ganti saja dengan ucapan yang membumi 'selamat pagi, selamat sore, selamat malam,' terangnya. Publik pun ada yang pro dan kontra. 'Tapi, biarin saja, begitu saja kok repot,' sergahnya.

Sebagai pelobi ulung, tidak pernah ada rasa takut untuk memulainya. Ketika Megawati Soekarno Putri mendiamkan dan tidak menyapanya setelah bertengkar dan 'berantem' (bahasa Bu Mega), tiba-tiba Gus Dur muncul di halaman rumah Megawati, minta dibuatkan sarapan nasi goreng di pagi hari. Bu Mega tidak bisa menolak. Karuan saja ia mempersiapkannya. Suasana pun menjadi cair penuh canda.

Tatkala masih memimpin negeri ini, elit politik bermanuver di ajang perhelatan kepemimpinannya, Gus Dur berujar, 'bahwa hal yang wajar jika para elit melakukan manuver-manuver politik, karena hal itu merupakan bagian dari pekerjaan para politikus. Kalau tidak bermanuver, ya ngapain lagi. Sejujurnya, saya juga bermanuver. Tentara Nasional Indonesia dan Polri yang duduk diam, enggak ngomong itu juga berpolitik. Tetapi, kalau berpolitik semua pihak harus melandasi diri dengan niat baik dan tulus, menjauh dari prasangka.' Gitu saja kok repot.

Munawir Aziz (2017), peneliti dan aktifis Gusdurian menceritakan, bahwa sepanjang hidup Gus Dur tidak pernah punya dompet. Beliau tidak terbiasa menyimpan uang. Jika mendapatkan honor atau uang hadiah, langsung mengalir diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Gus Dur memimpin tanpa keserakahan. Gus Mus (Kiai Haji Mustafa Bisri) sahabat kental Gus Dur tidak bisa menahan diri, sembari menitikkan air mata menyaksikan sahabatnya sampai berhutang ketika dirawat di RSCM. Dibanding dirinya yang dipanggil 'al-Mukarram' masih menyimpan dua dompet. Dompet yang satu untuk rupiah dan yang lainnya untuk menyimpan dollar.

Dalam sebentang lakunya, kita bisa mengais teladan Gus Dur dari berbagai peristiwa. Kisah-kisah kecil yang meletup dari memori orang-orang yang menjadi sahabatnya. Gus Dur berpikir, bersikap, dan bergerak dengan keteladanan. Perjuangan membela etnis minoritas, mengupayakan rekonsiliasi bangsa, membuka poros perdamaian internasional, dan sederet pengabdian kebangsaan beliau menjadi refleksi di setiap peristiwa.

Begitulah ujaran-ujaran tentang sosok Abdurrahman Wahid, penggalan sebuah nama 'Gus' di depan 'Dur' sejak masa kecil. Sebuah gelar di kalangan Islam Jawa yang diberikan kepada anak laki-laki dari ulama  terkenal. Ayahnya A. Wahid Hasyim adalah Menteri Agama pertama di republik ini. Kakeknya Hadlratus Syaikh Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sebutan 'Gus' itu merujuk kepada silsilah keturunan, sekaligus anak manja yang nakal tetapi punya reputasi yang layak dinisbatkan kepadanya. Dan, KH Abdurrahman Wahid pun bertahan dengan sebutan itu.

Selamat ulang tahun Gus Dur (07 September 1940).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun