Berhaji, Tekad Suci dan Langkah Pasti
Haji, sebuah elektron magnit. Getarannya bergaung tekad. Total guratan asa yang bulat. Berjibaku dengan maksud yang mulia dan niat suci. Terkandung panggilan  bermakna, dari atas sana. Rahasia Tuhan menyertainya. Begitu hajat dan kehendak berhaji, pasang  niat, sempurnakan tekad, pasrahkan diri dalam genggaman Allah. Jangan balik haluan, jangan tengok kiri kanan. Jangan berpikir macam-macam. Ambil pertimbangan yang matang. Lempang jalan menuju tujuan.
Di siang hari, bumi menghadap matahari lalu terang. Di malam, bumi membelakangi matahari lalu gelap berbintang. Teguhkan tujuan. Pantang terusik walau ada rintangan. Pantang menyerah walau ada halangan. Pantang berhenti sebelum sampai ke tujuan. Demikian sekelumit petuah tatkala perhelatan syukuran keberangkatan haji, atau walimatus safar diselenggarakan.
'Waktu keberangkatan,' lanjut penceramah, 'hadapkan muka lurus ke depan, pasrahkan hati menuju Tuhan. Jika ada yang ketinggalan, atau ada yang menegur di tengah jalan, tetapkan hati, arahkan tujuan, wajah menghadap ke depan, jangan menengok kiri kanan, ke samping, ke belakang, mencari siapa gerangan yang menyapa. Jika ada barang ketinggalan, visa haji terlupakan umpamanya, jangan kembali pulang. Suruh saja orang lain mengambil, dan tunjukkan tempatnya. Situasi seperti itu akan mendapatkan balasan sepontan. Azam bias niat, tidak sepadan.'
Ada seorang pegawai sipil pemerintah, telah menjual mobil untuk biaya berhaji ke tanah suci. Dalam perjalanan waktu yang tidak begitu lama, niat haji diurungkan. Karena atap rumahnya bocor, di sana-sini berlubang lubang, perlu perbaikan, saatnya direnovasi. Memperbaiki rumah perlu biaya. Maka, ditundalah niat awal ke tanah suci, didahulukan rehab rumah yang sudah lama belum diperbaiki.
Teman-teman seangkatan sudah sampai Makkah, telah menunaikan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci, mereka menemui dan mendapatkan sang pegawai berbaring lemah, tidak berdaya, dalam keadaan sakit. Disaksikan juga oleh mereka akan rumah yang belum diapa-apakan, belum direhab sama sekali, karena  biayanya tertanggung untuk berobat.
Sosok seorang ibu paruh baya, usia enam puluhan, keluarga berpunya, baru pulang dari tanah suci Makkah al-Mukarramah, menunaikan ibadah haji. Ia tertimpa sakit, hilang ingatan, talenta pikirnya sirna, buyar. Bicaranya ngelantur tidak karuan. Serba takut dikejar orang. Seperti ada yang mau membunuhnya. Keruan saja sebagai keluarga berpikir, kenapa terjadi demikian. Rupanya sudah terlampau lama niatnya naik haji, baru terakhir ini terlaksana setelah menunggu sekian lama.
Selama penantian, biaya yang sudah terkumpul, selalu dialihkan ke lain tempat, ditunda daftar hajinya. Persiapan haji dipakai untuk membeli tanah. Begitu terus berulang-ulang, sampai bertahun-tahun. Dan pada saat usia menjelang senja, dia berangkat haji tanpa mahram dan pendamping. Selagi di Makkah, musibah datang, hilang ingatan menimpanya. Sekembali ke tanah air pun masih seperti sedia kala, sakit yang sulit disembuhkan. Dan sekarang, ingatannya mulai pulih.
Seorang saudagar, kesohor sebagai pengusaha, mampu menunaikan ibadah haji lebih dari lima kali menurut ukuran umum. Ketika dirinya ditanya, 'Kapan berangkat ke tanah suci, berhaji?' Dia menjawab, 'Ongkos naik haji reguler, lewat pemerintah terlalu mahal, uang kita mengendap lama di bank. Lebih baik diolah dulu uang itu untuk bisnis, bisa berkembang. Bahkan dapat membantu membiayai fakir miskin yang membutuhkan. Nanti berangkat lewat negara tetangga Malaysia menyusur negara-negara searah menuju Jeddah, langsung Makkah, kan aman dan murah,' kilahnya. Fakta, sampai saat ini, dirinya tidak berubah, tetap seperti biasa, belum berhaji.
Ketika penulis tengah menabung ongkos biaya naik haji pada tahun 2006, ada teman nyeletuk, 'Kok nabung haji, selesaikan dulu sekolah anaknya, baru menabung untuk onh,' penulis terdiam menyimak kata-katanya. Ketika diundang  pada kesempatan syukuran walimatus safar keberangkatan haji, ia mengulang dalihnya sembari berkata, 'Kok lebih duluan anak dari bapak pergi haji, ini kan tidak hormat orang tua namanya.' Karena si pengundang adalah orang tua yang berpredikat belum menunaikan haji.
Demikianlah celetukan dan beberapa anekdot seputar haji. Celetukan beraroma getar menafikan. Berjibaku dengan pengaruh azam berurutan. Terasa semerbak dan acak sesuai kebutuhan. Makna berhaji adalah sebuah  gagasan yang lugas, niat yang kuat, dan denotasi kedaulatan yang mandiri. Yakni kehendak yang dipandu oleh kekuatan iman, kesadaran ihsan, lipatan ketulusan, seraya bergegas menunaikannya dengan aksi. Sembari teman-teman yang hanya berkomentar, namun mereka menafikan tekad dan kehendak berhaji, tidak pernah terbetik di sanubari. Dan mereka, sampai sekarang belum berhaji.. Â
Berjibaku dengan kuatnya azam, untuk meraih haji mabrur, haji harus berlandaskan niat, berpatokan kehendak, bersengaja berbuat dengan iradah yang kuat. Disertai ketulusan hati mencintai Tuhan. Kata haji itu sendiri, padanan dari bahasa Arab, yaitu 'al-qashdu.' Yang berarti dan bermakna dengan 'maksud,' berniat, berkehendak. Ungkapan diksnya lugas. Makna katanya terang, dan untaian maksud liputannya terlaksana. Tafsir kehendak yang terbina. Maksud yang dibarengi tekad untuk menunaikannya. Itulah makna bernas dari ibadah haji.
Tanpa niat dan tekad yang kuat, ibadah haji tak akan terwujud dan terlaksana. Walaupun punya banyak harta, biaya tercukupi, namun tidak ada niat dan usaha untuk menjalani, maka ia hanya pepesan kosong, bak fatamorgana yang cepat sirna. Ibadah haji bukanlah milik orang berpunya semata, tetapi milik orang bertaqwa. Walau seorang jelata dan miskin papa, bisa beribadah haji ke tanah suci, karena tekad yang dimilikinya.
Ibadah haji adalah penyempurna dari rukun Islam yang lima. Sebagai penyempurna, haruslah ia berbekal taqwa, ikhlas berkarya, dan istiqamah dalam asa. Ketaatan kepada Allah memang berproses. Karena itu persiapan untuk melakukannya harus terlebih dahulu dipunyai oleh orang yang akan mengerjakannya. Ingat kisah Jamaludin (Lombok Post 24/7/17), sosok tukang sayur keliling, berangkat haji. Ia sisihkan keuntungan jual sayur lima ribu rupiah perhari. Usia beliau sudah uzur. Tapi tekadnya pantang mundur. Hatinya sekeras baja. Keyakinannya sekuat tembaga. Cita-citanya mengangkasa. Mulai dari langkah pertama. Menabung seadanya. Setelah enam belas tahun, asa pun terlaksana.
Jadi, haji adalah kehendak hati, dengan niat suci dan langkah pasti. Kemudian, diikuti aksi  untuk mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H