Mohon tunggu...
Muslikhul Hadi
Muslikhul Hadi Mohon Tunggu... -

ketika semua orang tertawa aku terkadang diam diam jadi bahan tertawaan diam melawan tanpa kekuatan diam tidak selamannya tenggelam diam itu emas diam itu mencoba bersabar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuman

4 Januari 2018   12:37 Diperbarui: 4 Januari 2018   12:44 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada yang mengganjal dari pertemanan kami. Hanya karena sebungkus nasi kami menjadi sedikit renggang. Bukan karena berebut dari sebungkus nasi itu, tapi sebaliknya. Saling menolak dan saling memberikan. Sebuah cara yang dilakukan tidak selamannya baik, meskipun perbuatan itu terlihat baik dan membantu sesamannya. Seperti halnya seorang yang membeli barang dipasar, penjual yang memberikan harga dibawah harga pasar kepada pembeli. Umumnya pembeli itu bakal senang, namun ketika carannya memberi dengan kemurahan dan mengasorkan derajat, maka dengan terbuka maupun tertutup pembeli akan menghindar dengan sendirinnya dan menolak. Sekali lagi dengan cara yang salah sesuatu yang baik, bakal menjadi lebih buruk.

Ini hanya sebuah penafsiranku, sebagai seorang teman yang akhirnya entah harus meminta maaf atau menunggunya. Benar sekali, tidak ada satu lembar pun rupiah di kantong. Dan pada bulan pertama taun baru ini, kantong benar-benar kosong tanpa sepeser. Untuk sekedar membeli kopi, tidak ada. Kulihat sekitar, rasannya sedang pula berada pada posisi yang sama. Mereka mengawali tahun dengan kesederhanaan. Apakah ini awal yang buru? Atau menjadi satu cobaan dalam meraih rejeki lebih pada hari selanjutnya?

Sedari malam memang belum sepuluk nasi masuk mulut. Namun entah kenapa, mulut terasa pahit untuk mengunyah dan melihat putih busam nasi yang baru saja dibawa seorang teman. Hanya sebungkus, jika lebih dari sebungkus mungkin akan kuterima untuk sebuah utang.

Aku akan lebih menghargai mereka yang memberiku hutang, berapapun nilainnya. Karena tidak mungkin aku akan mengembalikan pemberiannya, terlalu berharga ketika lembaran-lembaran itu kubuyarkan. Kebiasaan. Bisa jadi. Namun dengan memberi utang meski hanya untuk sebungkus nasi maka telah masuk dalam catatan, dengan kewajiban mengembalikan suatu hari nanti. Hal itu terasa lebih terhormat dari pada pengasihan. Tuman. Bukan karena merasa disepelekan, pengasihan sangat kubutuhkan. Namun hanya takut karena tuman. Sekali lagi, tuman.

Jika tuman memberi itu baik, artinnya tidak ada masalah. Tuman guyon juga tidak ada masalah didalamnya. Tuman utang, lebih baik dari pada tuman meminta. Namun, ketika tuman itu sudah masuk dalam ranah cara pandang kasihan, itulah yang celaka. Seorang yang terbiasa dikasihani itulah yang lebih celaka. Membawa watak berjaga dengan orang lain. Begitulah maksudku, yang dinamakan tuman dikasihani.

Beberapa kali mungkin boleh, namun ketika kesadaran dating. Dengan aku menerima ajakannya untuk makan bersama dari jatah makan paginnya itu, dengan otomatis akan menurunkan derajatku. Sudah terlalu anjlok derajat kewibawaan ini turun, dan entah sampai kapan mereka akan tetap memandang diri ini dengan pendangan orang tidak punya. Orang yang tidak punya dan tidak kreatif. Akhirnya tuman dikasihani dan cilakannya tuman berharap dikasihi.

"Ya sudah! Kamu sudah tidak menghargaiku. Jangan masuk kamarku lagi."

Tidak sebuah jawaban yang pantas untuk itu. Mungkin dengan begini akan lebih membuatnya merasakan bagaimana keangkuhannya menempatkan diri ini dibawah selakangnya. Pikiranku membumbung, sekilah kebimbangan mendarat diwaktu yang salah. Kenapa tidak dijawab dan membuatnya lebih rileks, menyuarakan kejengkelan akan lebih membuat diri merasa lega.

"Halaaaaaah..." satu kata panjang vokalnya.

Satu kata dengan makna yang panjang jika dijabarkan. Apakah perkataanmu itu sudah kau pertimbangkan? Sekali lagi kupertanyakan persahabat ini. Sehabat itu sama rata sama rasa, jika aku merasa tersinggung dengan caramu yang sudah tuman mengasihaniku ini, sebaiknya tidak sampai memaksa seperti anak kecil.

"Kamu begitu kok!"

Kali ini tak berani kubalas tatapan mata itu. Muak? Atau lebih tepatnya wales. Tidak perlu dipikir panjang. Jika nanti apa yang kau ucap menjadi kenyataan akan jangan salahkan saya. Yang pasti akan kulawan kebisingan yang penuh dengan rasa jenuh. Hingga akan kupaksa lupa dengan apa yang kulakukan sembari terus memberi kenyataan atas permintaan itu. Biarpun tidak sepenuhnya sungguh-sungguh. Bagiku, dua kali lebih dalam kau merendahkan diri. Tuman. Dan, sadarlah!

Aku tidak akan menyalahkan diri, tidak akan pula menyalahkanmu. Hanya karena tuman itulah yang ingin kukalahkan dan kusalahkan, telah membawa pada sesuatu yang kurang baik terhadapku. Jangan mengisahi dengan cara menempatkan orang lain seperti pengemis, karena aku lebih suka menjadi maling sekalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun