Lidah yang lemas tak bertulang, sekilat menjadi setajam pedang. Bara api menguap panas, di dada, di pandangan mata. Namun, kenangan rasa lemas dan lemah luar biasa setelah turuti amarah bergejolak, sekian detik berikutnya memadamkan. Keheningan menggantung. Atau mungkin hening adalah bentuk baru dari gelembung sesal, membulat besar di udara. Tak terlihat.Â
Begitulah hidup. Pergulatan rasa, mustahil dijaga stabil di satu jenis saja. Bahagia, sedih, tertawa, menangis, ramai, sepi, dan banyak lagi sematan kata lainnya. Bermacam rupa. Berganti-ganti sepanjang waktu.Â
Ramadhan, salah satu bulan mulia, hadir sebagai salah satu katalis. Versi terbaik bahkan. Mulai dari konsep, tata laksana, sampai keseluruhannya yang berujung pada istilah 'Hari Kemenangan'. Kemenangan dari perjuangan konstan sebulan penuh, konsisten pada satu jenis rasa terbaik. Kebaikan serba positif.Â
Deretan doa serba baik, tak terputus di 24 jam. Bahkan lelap sekali pun, ditengarai sebagai ibadah. Timbangan sebiji sawi dari singkirkan kerikil di tengah jalan, dijanjikan berlipat-lipat ganjaran kebaikan.Â
Bagi saya, awal Ramadhan tahun ini, terasa pas terwakilkan di satu unggahan sosial media pribadi. Tak ada teks atau kalimat apapun di dalam video tersebut. Nyatanya, banyak hal yang saya tangkap dan merasa sangat pantas dikreasikan ulang, untuk kemudian saling mengajak menularkan keserba-baikan.Â
Satu-satunya teks yang tampak di video ini, 'Trimology'. Bisa jadi adalah nama tempat atau lokasi, dimana dua orang yang berada di dalam video, sedang berada. Akan tetapi, istilah ini juatru menyambar saya dengan pemahaman-pemahaman;
Pertama, nrimo ing pandum.Â
Menurut Koentjaraningrat, nrimo ing pandum adalah sebuah sikap penerimaan secara penuh terhadap berbagai kejadian pada masa lalu, masa sekarang serta segala kemungkinan yang bisa terjadi pada masa yang akan datang (Koentjaraningrat, 1990).
Kedua, meski terasa plesetan yang memaksakan diri, 'trimology' serasa satu kemampuan ekstra. Turut tertawa ngakak, boleh. Cuma senyum sedikit, ya boleh. Nonton video tertawa ngakak dengan wajah datar nir emosi, ya tetap boleh juga. Nrimo nan. Ya wis lah. Ya sudahlah. Lebih kepada empati atas aksioma tak terhingga dari ke maha-perbedaan. Bukan sok iyes seperti suasana sidang MPR/DPR RI di era Orde Baru lho ya.Â
Dua di atas saja, insya Allah saya merasa cukup. Segera bisa merasa bersyukur dengan siapa saya sampai hari ini. Rasa sama yang saya harapkan didapatkan oleh siapapun, baik ketika membaca tulisan ini, atau dari postingan sosial media saya tersebut. Sayang, karena di K belum ada pilihan untuk memasangkan post sosmed FB, saya titip linknya di sini.Â