Meski sudah pertama, karena loket antri untuk pemotor yang hendak menyeberang ke Pulau Bali, motor kami nge-gas ke arah pintu keluar. Arah masuk untuk KM. Kirana VII, ternyata lebih agak ke arah barat lagi. Tambahan petunjuk lainnya, umumnya trafik memperlihatkan antrian truk besar, fuso atau mobil kargo. Ikuti rombongan ini, di sisi paling kiri, terlihat jalur khusus motor.
Segera setelah masuk, tampak jelas KM. Kirana VII yang sedang sandar di sisi pantai dan bangunan beratap biru, lounge atau ruang tunggu penumpang. Gerbang utaa bangunan ini ditutup.Â
Parkir motor dan mobil, berada di luar kompleks bangunan. Bagus si. Jadi tidak tampak sesak dan hanya calon penumpang atau pengantar yang berlalu lalang. Saya dan suami menunggu di sini, sekitar 3 jam lebih.Â
Tengok kiri dan kanan, ada dua pemuda tanggung, dengan keril dan backpack mereka bersandar ke dinding. Deretan kursi penumpang telah penuh oleh rombongan ibu-ibu berkerudung sama biru. Juga beberapa bapak yang mengenakan baju yang tamapk seragam.Â
Hasil saling sapa ringan, mereka sekelompok keluarga dari satu kantor, yang habis liburan bersama ke Lombok. Ah ia, tentu saja, kami membuka obrolan dengan bahasa Indonesia yang dimedok-medokkan ke aksen bahasa Jawa. Ya juga karena suami saya memang aslinya dari kota Semarang, Jawa Tengah.
Aduh, hampir terlewat dengan judul dari sub bagian ini. Jani, begidi. Sekitar pukul 8 malam, petugas di ruang tunggu penumpang akhirnya membolehkan dimulainya penukaran tiket. Segera saya mendapatkan nomor 24. Print out tiket kemudian ditukarkan di meja sebelah persis, menjadi gelang.Â
Gelang saya warna hitam, tertulis nama PT. DLU, satu nomor entah penanda apa. Sudah. Itu saja. Sama sekali tak terlintas, akan seperti apa bed atau posisi bed untuk nomor tiket saya.Â
Bekal awal hanyalah, bed-nya mirip bunk-bed. Bertingkat dua. Cukup bersih, dengan satu rak di atas kepala untuk menyimpan barang dan satu colokan. Saya dan suami, lagi-lagi memulai dengan saling sapa, berujung saling bercerita seru tentang pendakian gunung Rinjani.Â
Dua cowok tanggung, teman ngobrol kami, hanya saya ingat seorang yang berasal Bogor. Atau mungkin sebenarnya mereka berdua yak. Yang saya ingat, ketika saya tanyakan, apa yang paling mereka kangen dari kuliner Bogor saat masih di perjalanan pulang begini, mereka serentak menjawab 'Nasi Uduk'!