Setiap tulisan akan sampai pada pembacanya. Betapa senangnya.
Sungguh jadi jawaban dari rasa insecure banyak penulis. Sejatinya, lahirnya satu tulisan, justru penyelamat kewarasan dari si penulis itu sendiri. Bukan apa-apa. Saat siap menjadi penulis, aktivitas 'membaca' tak melulu memelototi kata per kata dari buku, tulisan lain, atau narasi apapun yang berwujud tulisan. 'Membaca' bisa dari sekadar duduk diam di teras rumah, memandangi koleksi tanaman sedang disirami matahari pagi. Kadang, saat mendadak menemani ibu belanja ke pasar tradisional terbesar di kota, tingkah polah pedagang dan pembeli, suasana pasar, menjadi bahan 'bacaan' yang mengasyikkan.
Begitulah yang saya lakukan, sejak akhirnya pede mengundurkan diri dari kantor terakhir, di September 2020 dulu. Saya mulai yakin menjadi blogger seutuhnya, kerap dikenal sebagai full time blogger. Sungguh ingin dikenang sebagai 'penulis', dibanding sebutan profesi lainnya. 'Karir' kepenulisan yang menjadi bekal utama saya bersedekah, melalui berbagai aktivitas kerelawanan.
Mengapa Relawan? Untuk Apa?
Di awal mulai 'project' sedekah tulisan, saya memulainya bersama orang-orang terdekat. Keluarga.Â
Seorang kakak sepupu yang terpaksa berhenti 'berkarir' sejak kecelakaan tertabrak truk, justru mulai aktif berkreasi melalui 'sampah'. Nama pena beliau, Putri Linsi. Saat ini, makin aktif di berbagai asosiasi UMKM di Lombok Timur. Sosoknya mengolah berbagai jenis sampah, baik plastik, koran bekas, menjadi produk yang terpakai kembali. Masih dalam sinergi olah kreatifnya, bank sampah sebagai inisiasi awal, sejalan dengan berbagai bentuk baru dari UMKM.
Masih di dunia 'sampah', melalui Putri Linsi saya mengenal pula Aisyah Odist. Aisyah Odist, founder dan eksis bersama Bank Sampah NTB Mandiri. Tak terhitung kali saya menuliskan aktivitas dari dua sosok perempuan inspiratif ini. Konsistensi mereka berdua, mustahil saya nafikan, menjadi bensin penggerak kekeras-kepalaan saya menjalani kerelawanan selama 8 tahun terakhir.Â
Sisi lain, di tahun ini , dua organisasi kepariwisataan yang saya ikuti merapat pula pada kawan-kawan dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Travel blogger, relawan kepariwisataan, sangat beralasan ketika kemudian saya merapat pada mereka. Tidak di aktivitas yang muluk. Sekadar saling belajar, tentang menuliskan caption dari setiap kegiatan kepariwisataan mereka. Membangun hastag tertentu untuk membantu memasarkan secara digital, konten yang memenuhi unsur dari stakeholder kepariwisataan.
Sedikit contoh dari konsep digital marketing yang saya lakukan bersama pegiat bank sampah, UMKM atau kawan-kawan Pokdarwis, di antaranya:
Pertama, membangun jejak digital. Kembali ke Putri Linsi, salah satu mimpi beliau, ingin sekali hadir di salah satu acara Kick Andy. Kak Lin (panggilan akrab saya), merasa, konsep acara Kick Andy sebagai salah satu jalannya menggerakkan semakin banyak perempuan di luar sana. Keterbatasan fisik (kak Lin sempat bergantung lama pada tongkat untuknya bisa berjalan normal) bukan akhir dunia. Baginya, momen ketika ia kesulitan berjalan, membukakan gerbang aktivitasnya bersama bank sampah dan UMKM. Relatif kini telah menjadikannya seorang 'Womanpreneur'. Mulai tak terhitung kegiatan berskala nasional yang ia ikuti.
Kedua, meluaskan jaringan usaha. Banyak modul digital marketing, menyisipkan ajakan tak putus, 'Apapun produk UMKM Anda, sosial media bisa menjadi alat pemasaran, dimana produk Anda bisa dikirim ke daerah manapun di Indonesia'. Sedikit kutipan, yang menemani penjelasan dari materi digital marketing melalui sosial media.